6| Sebuah Kebenaran •°

7.5K 601 7
                                    

'Ada alasan dibalik keputusan, dan itu membuatku merasa jika saat memilihku harus ada sebab penting bagimu'

***

Genggaman tangan Ibra tak pernah lepas dari tangan Nia, bahkan semakin mengerat jika Nia berusaha melepas. Menuntun Nia menembus hujan dengan satu payung yang dipegang Ibra, berjalan menuju mobil yang parkir tak jauh dari tempat tadi. Bahkan tidak menghiraukan tatapan mata dua mahasiswa yang dilewatinya. Membiarkan berbagai penilaian mereka atas tindakannya ini. Dia tidak peduli tanggapan buruk dari mahasiswa padanya karena yang paling penting adalah menjelaskan duduk permasalahan pada Nia.

Nia menunduk, semua yang baru terjadi membuat pikirannya berkecamuk. Ada bahagia luar biasa kala Ibra memohon dia tetap tinggal, tapi di sisi lain hatinya masih perih mengingat sosok perempuan dalam foto yang disimpan Ibra.

Nia mengembuskan napas panjang, memilih memejamkan mata, mengangkat dagunya lalu menyandarkan kepala di jog dengan telinga menikmati suara rintik hujan yang masih deras. Entahlah, seolah semesta tau hati Nia tengah dirundung nestapa, seakan turut merasakan. Melukiskan jagat dengan warna kelabu, menurunkan bulir seiring bulir dari mata Nia meluncur.

Nia terdiam, masih memejamkan mata saat merasakan sebuah tangan yang dia tau milik Ibra mengusap tangannnya, membiarkan tangan Ibra mulai menggenggam tangannya dengan satu tangan lain tetap memegang kemudi.

Guliran waktu membawa Nia menuju alam mimpi, menderukan napas pelan tanpa dengkuran. Ibra yang sejak tadi fokus pada jalanan memberanikan diri sesekali memandang Nia, melepaskan genggaman yang diganti dengan usapan pada pipi dengan bekas air mata di sana.

Ibra tau, ada sebuah emosi yang berusaha Nia redam. Mungkin menjaga hatinya sendiri jika tau lebih banyak hal menyakitkan dan akhirnya menambah beban rasa sakit lagi. Berusaha kuat dengan berdiam, meski tidak bisa dipungkiri bahwa air mata menjadi bukti kerapuhannya.

Ibra kembali fokus pada jalanan, menginjak gas lebih dalam agar segera sampai tujuan. Menyelip beberapa mobil di depannya dengan lincah hingga menghentikan mobil tepat di depan sebuah warung pinggir jalan.

"Dek, sudah sampai. Keluar, yuk." Kembali mengusap pipi Nia, tapi kali ini dengan sedikit memberi kecupan singkat di sana. Membuat mata Nia yang tertutup perlahan terbuka.

"Kita makan dulu, setelah itu baru pulang." Manis, begitu manis perlakuan Ibra, tapi mungkin hanya wujud tanggung jawab saja. Bukan berdasarkan rasa cinta dalam hati.

Nia hanya mengangguk, melepas tangan Ibra yang masih ada di pipinya. Memilih turun dari mobil tanpa mengucap sepatah kata. Meninggalkan Ibra begitu saja.
Dengan langkah cepat Ibra menyusul lalu duduk di samping Nia yang ada di kursi dekat kaca dengan kebungkaman. Menandaskan makanan masih dengan iringan musik alam berupa rintik hujan. Keduanya menatap kaca yang menjadi sekat warung dari luar dengan objek pandang di balik kaca yang sama. Sepasang suami istri paruh baya dengan pakaian sederhana yang berjalan sambil bergandengan erat di bawah sebuah payung, saling melontarkan senyuman tanpa terganggu dengan derasnya hujan, bahkan telah membasahi separuh tubuh mereka.

Suasana masih senyap, Nia dan Ibra sudah ada dalam mobil yang membelah keramaian jalanan usai mengisi perut. Menyusuri pikiran masing-masing dengan raga yang masih sibuk sendiri. Bahkan ketika sampai di halaman sebuah rumah yang menjadi saksi bisu perjalanan sepasang anak adam ini mengarungi kehidupan dalam ikatan suci yang telah Allah sah kan, masih saja dengan kebungkaman meski usai bersantap siang bersama.

***
Waktu berputar seakan begitu cepat, senja telah mencapai di ufuk barat dengan ronanya. Membuat jagat perlahan menelan surya di ufuk baratnya berganti dengan raja malam, rembulan.

Lantunan kalam suci Alquran menggema dari sebuah ruangan yang rapat dengan jajaran rak kitab tebal karangan ulama klasik milik Ibra. Nia dengan tangan kanannya menggenggam mushaf sambil matanya menatap jajaran huruf hijaiyyah, bibirnya bergerak sesuai dengan makhorijul huruf ayat yang dibaca. Menyudahi kala sebuah deheman datang dari arah belakang. Menoleh, mendapati Ibra telah duduk di belakangnya.

"Dek, boleh kukatakan sebuah kebenaran padamu?"
Nia meletakkan mushaf yang ada dalam genggaman di rak jajaran kitab-kitab milik Ibra kemudian duduk bersimpuh di hadapannya.

"Ini yang kutunggu, Mas," balas Nia lirih. Inilah yang Nia tunggu, sebuah penjelasan mengenai banyak hal yang menimpa mereka belakangan ini.

Suasana hening sesaat sebelum akhirnya Nia kembali membuka suara. "Katakanlah, Mas."

Salah satu dari mereka harus meredam ego, Nia sadar sudah saatnya mereka menyelesaikan masalah. Bukan tetap membiarkan hingga tidak menemukan titik terang, meski pada akhirnya dia juga yang paling berpotensi merasakan sakit dan kecewa karena hal ini.

Ibra meraih tangan Nia, menggenggamnya erat sembari menatap lekat wajah Nia. Meluncurkan kalimat yang membuat jantung Nia berhenti berdetak sesaat. "Maafkan aku, Dek. Ada sebuah alasan kuat kenapa aku menikah denganmu."

Ada alasan dari sebuah keputusan. Lalu apa yang membuat Ibra meminta Nia tetap bertahan sedangkan dia pula menimpakan kesakitan dengan mengatakan mencintai masih perempuan lain.
"Apa, Mas? Apa yang membuatmu terpaksa menikah denganku?" Nia berusaha tetap tenang meski rasa tak keruan kembali melanda.

"Aku ikhlas menikah denganmu, Dek." Deru napas Ibra terdengar jelas beriringan dengan kalimat lembut yang terlontar.
"Sungguh, aku ikhlas Dek meski alasanku menikahimu adalah karena permintaan Ibu," sambung Ibra dengan mata menatap netra kelam di depannya yang kembali digenangi air.

Seketika hatinya tersentil. Kedua mata yang biasa menyorotkan tatapan penuh sayang berganti dengan kesedihan. Ibra berhasil mengukir luka di hati istrinya.

Keikhlasan macam apa yang tadi Ibra maksud? Apakah dengan menyakiti setelah menerima itu wujud dari keikhlasan? Tidak menaruh hati tapi malah dengan lugas mengakui hatinya masih dimiliki sosok lain itu juga wujud dari keikhlasan? Bohong, semua perkataannya tidak berarti apapun karena dirinya sampai sekarang masih menyimpan rapi kenangan dengan masa lalunya.

Tak kunjung ada balasan yang Nia berikan. Dia hanya diam usai mendengar pengakuan suaminya, menatap manik kelam milik suaminya begitu dalam dengan lelehan air di ujung mata.

'Ya Allah, bila Engkau sayang pada hamba. Maka Engkau timpakan ujian kepadanya, memintanya merapat dengan kening bertaut dalam sujud menghamba. Menyaksikan syahdunya deru tangis mengiba seorang hamba pada Penciptanya.'

'Ya Allah, Kutahu saat ini Engkau membuatku merapat dengan segala gundah. Mungkin inilah jalanku meraih ridhoMu. Mengujiku dengan rasa sakit atas kebenaran dari suamiku.'

***

Semarang
6 Oktober 2020

Senin (Revisi)
23 Januari 2023
1 Rajab 1444

Istri Pak Dosen [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang