'Perjalanan, perjuangan, dan pelajaran. Menjadi salah satu dari banyaknya sebab menjadi hamba yang lebih baik'
_________________"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Tanya Nia karena merasa aneh dengan kehadiran sosok yang sama sekali tidak terpikir olehnya.
Berbeda dengan Haidar yang malah tersenyum, menyambut kedatangan laki-laki itu dengan mengulurkan tangan. Memberikan tepukan pelan juga di punggungnya usai bersalaman. Membuat sosok yang telah berdiri di depan kakak beradik itu mengangguk pelan setelah diberikan isyarat kehadirannya diterima oleh Haidar.
"Dek, dia yang kemarin menolongmu, membawamu ke rumah sakit."
Mata Nia mengerjap, memandang lekat wajah laki-laki yang kini tersenyum tipis di depannya. "Terima kasih, Ridwan. Maaf merepotkan."
"Sama-sama. Aku tidak merasa direpotkan."
Haidar tersenyum, menyaksikan sang adik dan sosok laki-laki yang Allah jadikan perantara pertolongan untuk Nia kala dilanda musibah. Haidar mengalihkan pandangan ke arah pintu yang sedikit terbuka, menanti kedatangan seseorang sembari beberapa kali mengintip arloji yang melingar di tangan.
Haidar menarik kursi dari sudut ruangan, menempatkannya di samping kursi tempatnya duduk tadi. Mempersilakan Ridwan duduk di sana.
"Sekali lagi terima kasih sudah menolong Nia. Dia berlian yang satu-satunya keluarga kami punya. Dia permata kami." Haidar mengusap puncak kepala Nia. Menumpukan tangannya di atas punggung tangan Nia yang terdapat selang infus.
Ridwan mengangguk dengan mata memandang Nia yang menatap langit-langit kamar dengan mata berkaca-kaca. "Nia teman saya, dokter. Tidak ada berpangku tangan ketika melihat seorang teman sedang terkena musibah."
Setelahnya dua laki-laki itu terlibat perbincangan terkadang diselingi pula dengan Nia. Bahkan sesekali Haidar membuat adiknya tersenyum malu karena menggodanya. Membuat bibir tipis Ridwan juga turut tersenyum hingga membuat lesung pipinya tampak ketika melihat interkasi Nia dan Haidar yang begitu menyenangkan.
Ketukan pintu disertai daun pintu yang bergerak terbuka membuat penghuni ruangan mengalihkan pandangan ke arah pintu. Ketiganya kompak menatap tanpa kedip beberapa saat ke arah sosok perempuan dengan seragam warna putih yang tersenyum kikuk.
Mata Nia mengerjap beberapa kali lalu mengalihkan pandangan ke arah kakaknya. Sedangkan sosok yang menjadi objek pandang Nia tersenyum melihat seorang perawat berjalan mendekatinya, membuatnya berdiri sambil melirik arlojinya. Perawat itu ternyata mengingatkan jadwal Haidar visit dua pasien siang ini.
"Dek, Mas visit dulu. Nanti Aina datang menjemputmu pulang ke rumah kita agar kamu tinggal sama Mas. Oh iya, kata dokter yang menangani kamu, nanti baru boleh pulang setelah infusnya habis." Nia mengangguk tanpa menolak perintah kakaknya, mengetahui bahwa kakak iparnya akan datang menjemputnya pulang ke rumah peninggalan orang tuanya.
Haidar mengambil masker dalam saku snellinya dan langsung memakainya. Membuat Nia mengerutkan keningnya. "Lho, kok Mas Haidar pakai masker? Nggak seperti biasanya kalau mau pergi visit," kata Nia sebab tau Haidar sebenarnya kurang nyaman memakai masker, jika memakai pun sebab tuntutan pekerjaan saat operasi misalnya.
Haidar tergelak mendengar ucapan Nia sambil mengalungkan stetoskop yang tadi juga dikantongi dalam saku jas putihnya.
"Mas lagi flu, Dek. Makanya pakai masker, biar pasien nggak ketularan." Jawaban Haidar seketika membuat Nia mengerucutkan bibir, memukul lengan kakaknya cukup keras dengan tangan yang tidak diperban bahkan sampai membuat Haidar mengusap bekas pukulan itu.
"Tadi Mas Haidar malah cium aku. Sebel jadinya sama Mas Haidar, nanti kalau aku ketularan gimana? Ah, dokter nyebelin." Haidar semakin tertawa keras sambil memeluk tubuh adiknya kuat sebelum melepaskan karena pukulan Nia layangkan di punggungnya.
"Jangan khawatir, kalau flu nanti tak suruh Aina buatin wedang jeruk buat adik Mas ini biar sembuh."
Entah apa yang Haidar katakan sebelum meninggalkan ruang rawat Nia pada perawat yang tadi menjemputnya. Perawat itu masih setia berada di ruangan Nia. Membuat Nia penasaran hingga mendorongnya bertanya untuk mengetahui alasan kakaknya meminta perawat itu tetap berada di ruangannya sampai kakak iparnya datang. Ternyata tak lain karena kakaknya itu tak mau adiknya berduaan dengan Ridwan.
Ridwan yang juga mendengar alasan perawat itu tersenyum, memaklumi alasan Haidar.
"Nia, kalian baik-baik saja?" Tanya Ridwan setelah keheningan mengisi beberapa saat. Ridwan sedikit menggeser kursinya mundur usai melihat tatapan perawat yang berdiri tak jauh darinya. Membuat jarak antara dirinya dan Nia cukup jauh.
"Apa maksudmu?"
Ridwan mengembuskan napas, mengunci tatapan mata ke arah Nia yang mengernyit kebingungan. "Maaf sebelumnya jika aku lancang. Aku melihatmu menangis setelah berdiri di depan ruangan Pak Ibra lalu berlari menjauh, bahkan mengabaikan Pak Ibra yang memanggilmu. Membuatnya sampai bertanya-tanya keberadaanmu pada mahasiswa yang dilewatinya." Ridwan mengambil napas sejenak, sedikit canggung mengatakan kelanjutan kalimatnya, terlebih melihat tatapan sendu milik Nia.
"Zahra menghubungiku tadi. Meminta bantuan mencari keberadaamu karena permintaan dari Pak Ibra, tapi aku tidak memberitahukan keberadaanmu padanya," sambung Ridwan dengan suara lirih yang hanya mampu ditangkap Nia.
Mimik wajah Nia mendadak suram setelah mengetahui kenyataan akibat dari perbuatannya kemarin menyebabkan Ridwan tau hubungan istimewa antara dirinya dan Ibra.
"Kamu tau sesuatu antara aku dan Pak Ibra?" Ridwan mengangguk. Membuat Nia membuang napas. Menunduk, mengalihkan pandangan yang sebelumnya bertatapan dengan Ridwan lalu berganti pada cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya.
"Aku datang di acara walimatul ursy kalian, menggantikan ayahku karena beliau sedang keluar kota. Dia tamu undangan di pernikahan kalian."
.
.
.
.
Versi lengkap part ini hanya ada di novel***
اللهم صل على سيدنا محمد
Cukup 300 vote buat lanjutJumat
Semarang
18 Desember 2020
3 Jumbadil Ula 1442 HSenin (Revisi)
23 Januari 2023
1 Rajab 1444
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Pak Dosen [End]
SpiritualHak cipta di lindungi Allah SWT, JANGAN DI COPAS Siapkan hati, siapkan tisu baca cerita ini Dania Ramadhana tak pernah menyangka takdir menghendakinya menikah dengan pria yang telah dijatuhkan rasa dalam diam. Sosok itu tak lain adalah dosennya. Beg...