22| Melebur Kerinduan •

5.9K 463 13
                                    

Tolong tandai yang typo... Happy reading.

'Rindu ini telah bersambut. Membuat senyuman di bibir tak pernah surut.'
_____________________

Tarikan dua sudut bibir Ibra muncul melihat sosok yang berdiri di hadapannya, tak lain adalah Haidar. Menatap kakak iparnya yang kini memberikan senyum tipis sambil menepuk pundaknya pelan.

"Temui dia. Dia sudah menunggu kedatanganmu."

Ibra tertegun. Sejenak meyakinkan jika ucapan Haidar barusan memang benar. Bibirnya sedikit terbuka hendak melontarkan tanya namun tercekat di tenggorokan karena Haidar kembali menyambung kalimatnya.  

"Mas sudah mendengar semuanya, Ibra."

Sesudahnya Ibra menyimak setiap rangakaian kata yang diucapkan Haidar. Menjelaskan jika ketika percakapan antara dirinya dan Zaid mengenai masalah statusnya, Haidar bersama seorang perawat ternyata tengah berdiri di depan pintu ruangan Zaid untuk mengecek keadaan Zaid. Keduanya hanya mematung di sana cukup lama tanpa berniat masuk. Memilih berlalu usai Haidar diingatkan untuk visit pasien lain dahulu. Semua kalimat yang didengar Haidar sempat membuatnya dilema antara yakin dan ragu, namun berakhir dengan satu keputusan dengan memberikan Ibra kesempatan. 

"Temui Nia."

Tanpa membalas, Ibra langsung melangkahkan kakinya dengan  cepat meninggalkan rumah sakit. Menuju parkiran untuk mengambil mobilnya. Memacu mobil dengan kecepatan tinggi dengan senyuman terpahat sempurna. Tidak sabar bertemu dengan sang istri tercinta. Mengabarkan jika usahanya sudah berbuah kemenangan.

Ingat, jika Allah menghendaki sebuah ujian pada hamba, maka yakinlah Allah pasti memberikan jalan keluar juga. Sepaket. Tapi jangan melupakan ikhtiar, karena masalah tidak akan berakhir jika tidak ada upaya mengakhiri di dalamnya.

***
Ibra menatap pintu kamar berwarna coklat di depannya dengan dada berdegup kencang. Menarik napas seiring tangannya meraih gagang pintu dan memutarnya. Mendorong perlahan pintu itu hingga terbuka dan menampakkan sosok perempuan yang tengah dia rindukan berbaring sambil mendengkur halus.

Bibir Ibra kembali tersenyum, menutup pintu lalu berjalan menuju Nia yang terlelap. Melepas sepatu dan meletakkannya di rak sepatu lalu naik ke ranjang. Merangkak mendekati Nia dengan gerakan sehalus mungkin agar tidak menimbulkan suara kemudian mengikis jarak mereka ketika tubuhnya telah berada tepat di samping Nia. Ibra berbaring dengan posisi miring, menatap wajah Nia yang terlelap dengan damai. Satu tangannya membelai lembut pipi cuby Nia, mengusap sedikit titik air di sana. Bukti air wudhu masih membekas seperti biasanya. Sebuah hal yang rutin Nia lakukan sebelum tidur. 

Tak lama kemudian tangannya bergerak menyingkirkan anak rambut yang menutup kening Nia. Menampakkan kening dengan sapuan bulu halus di sana. Sejenak menikmati wajah ayu di depannya tanpa air mata kesedihan yang akhir-akhir ini kerap  keluar karena perbuatannya.

Mata Ibra memanas, mendaratkan kecupan lama di kening Nia. Menarik tubuh istrinya hingga berada dalam dekapan. Satu tangan Ibra berpindah  mengusap puncak kepala Nia perlahan. Menikmati sentuhan yang dia berikan pada Nia dalam keheningan. Inilah yang Ibra inginkan, kembali bersama perempuan yang merupakan tulang rusuknya.

"Tetaplah disisiku, Dek. Jangan pernah pergi lagi," ucap Ibra lirih.
Usapan tangan Ibra ternyata mengganggu tidur Nia, membuat matanya terbuka  perlahan hingga mendapati laki-laki yang dia cintai memeluknya erat. Menyembunyikan wajah di ceruk lehernya yang tertutup rambut.

"Dek, aku cinta kamu."

Tubuh Nia membeku sesaat usai  mendengar kembali pengakuan cinta Ibra secara langsung.

Tangannya bergerak pelan mengurai pelukan hingga membuat Ibra tersentak. Turut melepas kungkungan tangannya pada tubuh Nia. Menatap Nia sendu, merasa tak rela saat pelukannya benar-benar telah terlepas.

"Sudah bangun, Dek? Maaf mengganggu tidurmu."

"Kamu, kenapa bisa di sini?" Nia menatap wajah sosok di depannya lekat. Mengambil posisi duduk yang kemudian diikuti oleh Ibra. Nia menautkan kedua alisnya, memicingkan mata seolah berpikir bagaimana laki-laki ini bisa masuk. Bukannya Mas Haidar belum mengijinkan dia datang?

Nia menahan tubuh Ibra yang hendak kembali mendekapnya. Memberikan isyarat pada Ibra dengan tangan untuk tidak bergerak dari posisinya. Cukup mengatakan sesuatu pada Nia dengan sekat yang ada.

"Semua sudah selesai, Dek. Aku datang membawa kemenangan atas usahaku." Nia membisu. Menatap cukup lama kedua bola mata Ibra penuh selidik, mencari kebenaran di sana.

"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya pada Om Zaid," sambung Ibra. Menghapus keheningan dengan meneruskan penjelasannya perihal usaha menyelesaikan masalah yang menjadi penyebab hubungan mereka renggang telah membuahkan hasil.

"Mungkin tidak mudah mempercayai ucapanku. Aku sadar, sudah banyak memberikan luka padamu. Menempatkanmu seolah menjadi perempuan yang tidak diinginkan." Ibra menjeda kalimatnya. Satu tangannya bergerak mengusap pipi Nia. "Tapi ketahuilah satu hal, jika aku selalu yakin pada garis takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Dan kamu ditakdirkan menjadi istriku, jauh sebelum ruh ini menempati jasad. Torehan takdir di sana telah mengikat kita." Mengakhiri kalimatnya dengan kembali mengucapkan pengakuan cinta.
.
.
.
.
Versi lengkap part ini hanya ada di novel

***

اللهم صل على سيدنا محمد
Manis-manis dulu nggih... sebelum kejutan lagi

Semarang
23 Januari 2021
11 Jumbadil Akhir 1442

Senin (Revisi)
23 Januari 2023
1 Rajab 1444

Istri Pak Dosen [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang