16| Surat Cinta dari Nia •°

6.9K 564 41
                                    

'Kamu akan menyesali keburukan yang telah berlaku karenamu. Sebab tak mungkin mengulang masa itu untuk memilih berlaku baik.'
____________

Suara dering dari ponsel mengalihkan pandangan Ibra ke arah saku celana yang di dalamnya tersimpan ponsel.

Tangan Ibra merogoh saku, menarik ponselnya keluar untuk mengintip nama pemanggil yang tertera di layar. Dengusan terdengar darinya sembari berdecak kesal saat tau sosok yang menghubunginya lewat sambungan telepon. Tidak berniat membalas, malah menekan tombol warna merah untuk menolaknya lalu kembali menyimpannya dalam saku.

Kaki Ibra melangkah, kembali menuju tempat sebelum dia ke ruangan Zaid. Jika bertanya pada Haidar tidak mendapatkan jawaban, maka dia harus mencari tahu sendiri keberadaan Nia dengan bertanya kepada resepsionis rumah sakit. Hasilnya pun mampu membuat bibir Ibra berkembang ketika berjalan menuju ruang rawat inap yang ada di dekat UGD.

Dada Ibra tak berhenti berdegup kencang, tak sabar menjumpai sosok hawa yang Allah gariskan sebagai penyempurna agamanya. Tubuh Ibra bergeming sesaat sebelum mengangkat tangan mengetuk pintu ruang rawat inap di depannya lalu setelahnya menggeser pelan pintu hingga terbuka.

Bibir Ibra yang terukir senyum perlahan memudar kala yang didapatkan hanya kesunyian dalam ruangan. Membuang napas panjang kemudian berlalu. Rasanya masalah tak henti-hentinya mendera, membuat Ibra mengusap wajahnya kasar.

Entah dorongan dari mana, pikirannya bertemu dengan Nia membuatnya berjalan menuju sebuah ruangan yang baru saja keluar seorang pasien lalu pintunya kembali tertutup. Tanpa mengetuk pintu, Ibra menerobos masuk dan langsung duduk di hadapan seorang laki-laki yang tengah menatap lembaran-lembaran kertas dalam genggamannya. Sosok itu mengalihkan pandangan kala Ibra memanggil namanya. Meminta seorang perawat yang ada di dalam ruangan keluar.

"Mas Haidar, tolong beritahu dimana Nia."

"Untuk apa? Bukannya kamu malah bisa leluasa bertemu dengan anak Pak Zaid," ujar Haidar sembari tersenyum separuh.

"Mas jangan egois! aku yang paling berhak atasnya, jadi aku juga boleh membawanya pulang!"

Tangan Haidar mengepal, bangkit dan langsung menarik kerah kemeja Ibra. "Tidak akan kubiarkan! Enyah dari hadapanku!" Haidar mendorong tubuh Ibra hingga membuat kursi di belakangnya terjatuh.

Ibra tak mau kalah, berjalan mendekati Haidar sambil menatap lekat matanya. "Dia istriku, Mas. Bagaimana pun juga aku yang paling berhak atas dirinya. Dia berdosa jika tidak mendapatkan ijin pergi dariku!"

Haidar berdecak, mencengkram bahu Ibra. "Kamu bicara perihal dosa? Lalu apa bedanya dengan kamu yang membuat Nia menangis, melukai hati seorang istri bukankah itu juga dosa?"

"Bukan maksudku membuatnya menangis, Mas."

"Omong kosong! Kamu dulu memintanya dariku untuk menjadikannya ratu dalam keluarga yang kau bangun, lalu apa? Kamu malah melukai hatinya saat kamu dengan mudahnya menyetujui amanah pak Zaid saat itu!" Haidar mengakhiri kalimatnya sambil melepas cengkeraman tangannya pada Ibra. Mengatur napas yang memburu.

Wajah Ibra mendadak pias, menatap tak percaya ke arah Haidar. "Mas tahu?"

Haidar menatap tajam Ibra. "Bahkan kamu tidak menyadari kehadiranku di ruangan saat kekhawatiranmu pada Pak Zaid begitu besar."

Istri Pak Dosen [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang