'Jangan menyimpan rahasia yang berpotensi membuat orang yang kau sayangi kecewa. Katakan, meski cukup menyakitkan.'
______________Pagi sekali Nia sudah berada di rumah kakaknya. Sebelumnya dia meminta ijin pada Ibra pergi ke rumah Haidar untuk sekedar berkunjung. Ibra memberikan ijin dengan syarat dia lah yang mengantarkan karena melihat wajah istrinya pagi ini tampak pucat meski mengaku baik-baik saja. Sebelumnya Ibra sempat melarang Nia pergi ke rumah Haidar, tapi dengan rayuan maut Nia berhasil mendapatkan ijin darinya meski harus Ibra yang mengantar.
"Dek, Mas berangkat dulu. Kalau ada apa-apa kabari, ya. Kalau perlu kabari suamimu juga biar dia ndak khawatir. Mas tau, tadi Ibra koyok abot ninggalin kamu. Jadi jangan banyak tingkah, kamu lagi sakit. Nanti kalau butuh obat apa bilang, biar Mas beli di apotek dekat rumah sakit."
Nia mengangguk dengan mata tertutup sebagai balasan perkataan Haidar. Tubuhnya benar-benar lemas hingga hanya bisa terbaring. Bahkan Aina yang sebelumnya mengawasi Hanafi, meminta pengasuhnya yang baru beberapa hari bekerja untuk menjaga sedangkan dia mengurus Nia yang sejak tadi mengeluh pusing dan beberapa kali sempat muntah.
"Dek, sebenarnya kamu sakit apa? Tadi juga waktu Masmu mau periksa malah nolak. Kalau sakit harusnya panggil Mbak saja ke rumahmu, jangan kamu yang datang kesini. Mbak kasihan lihat kamu lemes begini."
Nia hanya menanggapi dengan senyuman. "Hanafi tidak apa-apa ditinggal sama pengasuhnya, Mbak?"
"Ndak apa-apa, ada cctv kok di setiap sudut rumah. Masmu satu minggu lalu pasang." Aina menunjuk sebuah cctv di bagian pojok atas kamar.
"Tadi kamu nolak waktu mau diperiksa Masmu, kalau gitu Mbak panggil dokter lain aja biar datang ke rumah, gimana?"
Nia menggelengkan kepala pelan."Nggak usah lah, Mbak. Cuma lemes sama pusing, padahal habis subuhan aku masih bisa masak buat sarapan sama bekal Mas Ibra. Tapi sampai disini kok pusingnya makin kerasa. Puyeng banget ditambah muntah, Mbak."
Tanpa diminta tangan Aina bergerak memijit kepala Nia dengan sesekali mengoleskan minyak angin di pelipis dan hidung mengingat sebelumnya Nia memuntahkan isi perutnya tadi karena mencium sesuatu.
"Dek, kamu sudah haid bulan ini?"
Tubuh Nia menegang, menyadari ada sesuatu yang beberapa hari ini sempat menganggu pikirannya. Jadwal haidnya sudah telat.
"Belum, Mbak. Bahkan dua bulan ini aku belum haid."
"Apa mungkin kamu lagi isi, Dek?"
Mendengar ucapan Aina sontak membuat Nia mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang dibantu kakak iparnya itu. Menerka sesuatu yang masih belum pasti."Apa iya, Mbak? Aku sendiri sebelumnya pernah dua bulan tidak haid."
Nia tidak mau berharap lebih karena mengingat sebelumnya pernah tidak haid selama dua bulan. Siklus haidnya terkadang memang tidak teratur. Perihal anak cukup menunggu waktu Allah memberikannya entah kapan.
"Coba kamu cek dulu, Dek. Siapa tahu Allah sudah kasih rizki anak sebelum kamu lulus kuliah. Bisa wisuda dengan perut agak melendung, nih." Aina terkekeh dengan tatapan mengarah ke perut rata Nia. Membayangkan perut itu tampak membuncit ketika dibalut pakaian wisuda.
Wajah Nia yang semula pucat sedikit berubah memerah di kedua pipinya sebab mendengar ucapan Aina tadi, menyembunyikannya dengan sedikit menunduk.
"Dicoba dulu, ya."
Nia menyetujui saran Aina. Menerima beberapa benda pipih yang baru Aina berikan setelah sebelumnya mengambil benda itu di kamarnya. Membantu Nia masuk ke kamar mandi untuk mengeceknya langsung.
Cukup lama Nia berdiri di depan wastafel dengan jantung berdebar kencang. Menunggu garis di alat itu muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Pak Dosen [End]
EspiritualHak cipta di lindungi Allah SWT, JANGAN DI COPAS Siapkan hati, siapkan tisu baca cerita ini Dania Ramadhana tak pernah menyangka takdir menghendakinya menikah dengan pria yang telah dijatuhkan rasa dalam diam. Sosok itu tak lain adalah dosennya. Beg...