9| (Masih) Rasa yang berbeda •°

6.8K 526 15
                                    

Mau buat yang bikin senyum dulu nih ...
_______

"Dek, tetaplah tinggal di sisiku. Jangan pergi meski serumit apapun masalah yang melanda rumah tangga kita nanti." Tangan Ibra yang sedari tadi mengusap puncak kepala Nia beralih memeluk erat. Memberikan kecupan lama di kening dengan anak rambut di sana. Menatap wajah istrinya yang berbingkai rambut terurai.

Nia hanya bisa bungkam sembari memejamkan mata, menikmati semua perlakuan manis Ibra. Menumpukan lengan tangan di pinggang laki-laki berjambang yang mulai tumbuh tipis itu ketika dua telapak besar milik Ibra menyentuh pipinya. Nia balas dengan mendekap tubuh yang berbaring di depannya ini. Memberi usapan pelan di punggung kokoh miliknya.

“Aku manusia biasa, tidak bisa sempurna tanpa adanya kamu. Kamu yang didatangkan Allah untuk menyempurnakan kekuranganku. Menjadi bagian penting dalam kehidupanku. Jadi tolong, tetaplah bersamaku, Dek.” Begitu lirih Ibra mengatakan itu di telinga Nia. Berharap pikiran istrinya tak sampai pada kata perpisahan jika suatu saat dia kembali berbuat salah.

Nia masih tak berusara, menanggapi perkataan suaminya dengan kian mengeratkan pelukan pada tubuhnya. Malah memberikan akses lebih pada semua tindakan manis suaminya.

Malam ini semua berlalu begitu indahnya. Mengabaikan timpaan hujan yang turun begitu lebat di luar dengan suara petir pula. Membuat tubuh dua insan itu semakin merapat dalam buaian mimpi yang turut hadir. Tanpa disadari membuat simpulan senyum terbit dari bibir keduanya. Benar-benar menghapus sekat yang sebelumnya sempat tercipta.

***
Pagi ini Nia tidak memasak, Ibra membeli bubur untuk sarapan. Karena Ibra meminta Nia untuk istirahat, malah usai salat subuh Nia langsung di minta berbaring. Tidak perlu menyiapkan segala keperluan Ibra sebelum bekerja. Ibra menata sendiri yang diperlukan untuk bekerja.

Malam tadi tubuh Nia sempat demam, membuat tidur Ibra terganggu ketika mendengar Nia menggigil pelan tapi dengan tubuh panas. Seketika membuat Ibra membuka matanya, menyentuh kening Nia yang panas lalu bergegas mengampil kompres dan terjaga hingga pukul dua pagi. Langsung terlelap setelah menyentuh kening Nia sudah tidak panas lagi.

"Jangan melakukan pekerjaan rumah dulu, nanti biar Mas saja yang lakukan setelah pulang dari kampus."

"Tapi, Mas ..."

Ibra mengusap pipi Nia lantas menggeleng. "Mas akan pulang lebih awal. Setelah selesai mengajar sebelum dzuhur insyaallah sudah sampai rumah." Hanya anggukan akhirnya yang Nia berikan. Tidak bisa membantah ucapan suaminya.

Ibra mendaratkan kecupan di kening Nia sebelum tubuhnya menghilang dibalik pintu. Membuat senyum Nia kembali terbit. Menampakkan lesung pipi yang jarang terlihat. Nia bukan memejamkan mata malah meraih gawainya di nakas. Mengetikkan sesuatu lalu di kirim ke nomor milik Zahra, temannya yang tak lain mahasiswi bimbingan Ibra. Memberitahu jika Ibra telah menuju kampus. Meminta Zahra bersiap menemui Ibra sesuai janji bimbingannya.

Hanya Zahra, sahabat satu-satunya yang Nia punya selama kuliah. Mungkin benar kata orang jika individu yang memiliki sifat serupa akan cocok bila digabungkan. Seperti Nia dan Zahra, sama-sama tidak terlalu suka keramaian dan cenderung pendiam. Zahra pula satu-satunya warga kampus yang tau status pernikahannya dengan Ibra.

Setelah mengirim pesan pada Zahra, Nia beranjak dari ranjang lalu berjalan menuju meja belajar miliknya di sudut kamar. Meraih lembaran jurnal dan laptop miliknya, membawanya ke ranjang. Melanjutkan skripsi yang tinggal dua bab lagi usai setelah istirahatnya tadi dirasa cukup dan tubuhnya sudah lebih baik.

Dua jam sudah matanya menatap layar laptop. Sangat yakin jika Ibra melihat ini pasti dia akan marah padanya. Perintahnya untuk istirahat malah Nia abaikan. Entah, sejak kemarin rasanya Nia mudah sekali menerbitkan senyum. Bahkan saat ia membayangkan Ibra saat ini tengah marah padanya saja membuatnya tersenyum simpul.

Bagian akhir bab empat sudah hampir selesai, melirik sekilas jam di dinding yang menunjukkan pukul sepuluh. Segera Nia menutup laptop lalu mengemasi lembaran jurnal yang berserak di atas ranjang. Bergegas mengambil air wudhu untuk menunaikan salat dhuha.

Nia tak henti-hentinya sejak tadi menatap jajaran bunga mawar yang tersusun rapi dengan warna beragam. Usai menunaikan salat dhuha, Nia menyapu dan merapikan beberapa ruangan setelah itu menuju taman yang ada di samping rumah. Beristirahat sejenak meski sekedar duduk di kursi yang ada di sana sambil menikmati suasana yang begitu damai.

Terik matahari terasa menjamah wajah Nia, membuatnya masuk ke dalam rumah berniat membuat masakan sederhana sebelum Ibra pulang. Setidaknya sudah ada hidangan yang tersaji di meja makan saat Ibra datang.

Belum sampai meraih wadah kecap yang tersimpan di dalam kabinet dapur, sebuah sentuhan di punggung membuat Nia menoleh. Melihat Ibra berkacak pinggang sambil menghela napas berat lalu menuntun Nia duduk di kursi kecil yang ada di sudut dapur.

Ibra berjongkok di depan Nia. Menggenggam tangan istrinya erat. "Dek, Mas ingin kamu istirahat. Kamu baru saja mendingan, jangan melakukan sesuatu yang membuat tubuhmu kelelahan." Nia menunduk, menempatkan kedua tangan di pangkuan.

Ibra menegakkan tubuh saat suara adzan terdengar. Mengulurkan tangan pada Nia, mengajak bersiap menunaikan salat dzuhur berjamaah di musholla rumah.

Ibra menggelengkan kepala saat berjalan keluar dari musholla usai salat, melihat ruang tengah sudah tertata rapi. Menatap Nia yang hanya mampu mengulas senyum tipis.

"Aku tau Mas lelah setelah mengajar di kampus," ujarnya lirih.

"Tapi Mas sudah bilang tadi pagi kalau Mas yang akan melakukan pekerjaan rumah, Dek."

"Maaf, Mas." Nia membalas lirih, membuat Ibra mendengus pelan.
Ibra meraih tangan Nia, mengaitkan jemari mereka. "Jangan lakukan apapun lagi sebelum Mas mengijinkan ya, dek." Nia mengangguk saja setelah mendengar perkataan Ibra.

Setelah permintaan Ibra tadi agar Nia hanya berdiam, Ibra langsung menyelesaikan tugas merapikan rumah. Sekarang disinilah mereka berada, sebuah warung makan sederhana yang ada tak jauh dari rumah. Tempat favorit Ibra dan Nia kala akhir pekan tiba. Bukan restauran mahal, bukan pula tempat wisata menarik tapi pasangan ini lebih memilih mengisi akhir pekan dengan makan di tempat yang jauh dari kata mewah. Warung makan ini cukup lengang kali ini, hanya segelintir orang yang duduk di sekitar Ibra dan Nia. Membuat mereka leluasa menyantap makanan dengan damai.

Usai memesan makanan Ibra sibuk dengan gawainya. Sesekali mengerutkan kening saat notifikasi pesan masuk datang bertubi.  Ibra meletakkan gawai kala merasakan telapak tangan  Nia memberikan usapan di punggung tangannya saat hidangan tiba.

Suasana hening hadir saat keduanya menyantap makanan. Saling melempar senyum tatkala mata mereka tanpa sengaja berpapasan. Membuat Ibra segera menyudahi kecapannya lalu meneguk air dalam gelas hingga tandas. Entah apa yang Ibra pikirkan, kelebat bayangan dirinya dan Nia pada pesta pernikahannya beberpa bulan lalu muncul. Bahkan sampai tidak menyadari sudut bibirnya ada sebutir nasi.

Nia yang melihat tingkah Ibra mengeluarkan kekehan pelan. Membuat Ibra menggaruk tengkuknya dengan wajah datar namun terkesan lucu bagi Nia.
Nia mengambil selembar tisu, menyapu sudut bibir Ibra. "Ada nasi, Mas."

Tubuh Ibra membeku mendapat perlakuan Nia barusan. Tangannya bergerak menyentuh dadanya yang bergemuruh hebat. Bukan hanya sekali ini, perasaan asing ini juga melandanya beberapa waktu lalu. Membuatnya kembali bertanya, 'apa yang terjadi padaku?'

***

Semarang
18 Oktober 2020

Senin (Revisi)
23 Januari 2023
1 Rajab 1444

Istri Pak Dosen [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang