13| Rundungan Penyesalan •°

8.3K 587 35
                                    

'Hargai yang datang sebelum dia pergi. Karena kita tak tahu, penyesalan seperti apa yang mendera setelah sosoknya tak ada lagi.'
_______

Ibra melangkah gontai mendekati rumah dengan cat warna biru laut. Tangannya terangkat, mengetuk pintu kayu di depannya seraya mengucap salam dengan pikiran yang masih berkecamuk. Inilah tempat terakhir yang Ibra tuju untuk menemukan Nia setelah beberapa tempat yang biasa mereka singgahi tak menunjukkan tanda-tanda keberadaan Nia.

Suara balasan dari dalam rumah terdengar seiring gagang pintu yang bergerak turun diikuti daun pintu yang bergeser. Menampakkan sosok perempuan dengan penampilan serupa dengan Nia.

"Mbak Ara, apa Nia datang kesini?"

Perempuan yang dipanggil Ara tadi menggeleng. Membuat raut wajah Ibra suram.

"Mas Bagas ada, Mbak?"

"Kalau Mas Bagas ada."

Melihat penampilan berantakan Ibra, perempuan yang dipanggil Mbak Ara mempersilakan Ibra masuk. Memintanya duduk sedangkan dia memanggil sang suami.

Pikiran Ibra digelayuti penyesalan dan rasa bersalah kepada Nia. Membuatnya kembali mengacak kasar rambutnya. Laki-laki berkemeja batik yang melihat tingkah Ibra hanya menggelengkan kepalanya, berjalan ke arah Ibra yang memasang wajah kusut itu.

"Jangan ngacak rambut terus, yang ada kepalamu jadi pusing, Ibra." Sosok dengan balutan kemeja batik yang barusan datang itu menempatkan dirinya di samping Ibra.

"Ada apa, Pak Dosen?"

Ibra mengela napas panjang, menarik foto dalam sakunya dan menyerahkan pada sosok di sampingnya.

"Dia masih dengan ego dan ambisinya, Mas. Bahkan kali ini dia memaksaku berpisah dengan Nia."

Ekspresi sosok dengan balutan kemeja batik itu tak jauh berbeda dengan Ibra saat melihat foto itu pertama kali. Setelah itu hanya dengusan yang terdengar darinya. "Sejak awal sudah Mas katakan, lepaskan dia beserta semua yang berkaitan dengannya."

"Apa kamu belum menerima Nia?" tanyanya.

Mendengar kalimat yang didengar barusan membuat mata Ibra membulat bahkan kepalanya menggeleng cepat. "Aku sudah ikhlas, Mas. Sejak pertama memutuskan menikahi Nia, aku sudah menerima semuanya, Mas Bagas."

"Lalu apa yang masih kamu permasalahan hingga menerima Yosi datang lagi? Bukannya kamu sendiri dulu yang memutuskan menghentikan hubungan kalian yang saling menyakiti itu?"

Ibra bungkam. Malah menggulir layar ponsel dalam genggamannya yang berhenti pada foto perempuan berhijab putih dengan senyum merekah. Dia sosok yang sama dengan sosok yang tengah Ibra cari keberadaannya, Dania Ramadhana.

"Kenapa Ibra?"

Ibra masih bungkam, memejamkan matanya sesaat sebelum akhirnya mengalirlah cerita yang menjadi penyebab datangnya pikiran tak keruan dalam kepalanya. Rasa tak menentu dalam hatinya juga turut menguar, membuatnya semakin merasa bersalah.

"Nia pergi setelah mendengar percakapanku dengan Yosi tadi, Mas. Aku tidak tahu lagi harus mencarinya kemana, semua sisi kampus bahkan tempat yang biasa kami kunjungi juga tidak dia datangi." Ibra membuang napas panjang, kembali memejamkan matanya sesaat sebelum menoleh ke arah Bagas.

"Aku takut terjadi sesuatu padanya, Mas. Sudah sejak tadi siang aku tidak bisa menghubunginya, bahkan Zahra yang biasa dengannya juga dia abaikan panggilannya. Bahkan hampir semua temannya di kampus kutanyai, tak peduli jika akhirnya mereka tau hubunganku dengan Nia. Aku harus bagaimana lagi, Mas? Aku ingin Nia pulang," lanjut Ibra sambil meremas foto yang Ibra dapatkan tadi di rumah. Foto dirinya bersama Yosi dan ayahnya. Foto yang turut andil menyebabkan Nia merasakan sakit dalam hatinya.

Bagas mengangguk, paham dengan situasi rumit yang baru saja melanda adiknya. Menepuk pundak adiknya pelan. "Mas akan bantu kamu cari Nia, Mbakmu juga nanti akan bantu. Tapi ingat satu hal, jangan membuat Nia terluka lagi. Kalau itu sampai terjadi kembali dan membuat Nia pergi, Mas tidak mau ikut membantu."

"Makasih, Mas. Aku tidak akan melakukan kesalahan lagi."

"Semua yang telah ditetapkan Allah, maka itulah yang terbaik." Ibra mengangguk, membenarkan ucapan Bagas barusan. Sedikit menghilangkan pikiran Ibra yang kusut dengan meyakinkan dirinya sendiri jika Nia pasti akan kembali, karena Nia telah ditetapkan Allah sebagai bagian dari hidupnya.

***
Ibra duduk di atas ranjang Queen size dalam kamar dengan sapuan cat warna kelabu dengan tatapan mata kosong seolah tidak memiliki semangat sama sekali. Satu jam sudah Ibra hanya duduk dalam ruangan ini. Ruangan yang tiga hari lalu Nia rancang menjadi kamarnya nanti setelah Ibra resmi menjadikan Yosi madunya. Saat mengetahui hal itu bahkan Ibra tak habis pikir, bagaimana legowonya sang istri melakukan itu demi agar dirinya menunaikan janji.

Pelan Ibra membaringkan tubuhnya, menarik bantal yang beraroma parfum Nia. Tubuh Ibra gemetar kala tanpa sengaja menemukan sebuah lembaran kertas warna putih dengan torehan tinta yang terangkai menjadi kalimat. Kertas itu terselip di balik bantal yang ada di ranjang. Sebuah rangkain kalimat yang seharusnya membuat hati para pasangan pengantin bergembira malah membuat hati Ibra diremas sedemikian rupa.

Kalimat dalam lembaran kertas yang berisikan doa itu tidak lain adalah kado yang Nia persiapkan dengan begitu indah. Bahkan pada akhir kalimat, disisipkan pula simbol senyum yang mungkin kontras dengan suasana hati penulisnya.

Begitu adil Nia dengan posisinya, menempatkan di posisi istri pertama yang sudah rela membagi cinta suaminya, mengabaikan luka dalam hati karena ego Yosi. Lantas bagaimana dengan hatinya jika hal itu benar-benar terjadi? Apakah dia bisa adil pada dua sosok perempuan dengan beban rasa yang hampir sama tapi rasa cintanya tidak mampu dibagi rata. Nyatanya cinta untuk Nia saat itu belum ada. Tapi rasa cinta itu datang kala Nia telah pergi. Membuatnya dirundung penyesalan.

Ibra meremas lembaran kertas yang ada dalam genggamannya. Melemparnya sembarangan. "Bukan lembaran kertas ini yang Mas harapkan, Dek. Ucapan selamat atas pernikahan ini tidak membuatku senang, malah menyiksaku, Dek."

Kilasan demi kilasan kebersamaannya dengan Nia berlomba hadir dalam benak. Membuat buncahan rasa tak keruan kian timbul ke permukaan. Setiap kejadian yang telah berlalu dalam rumah tempat mereka bernaung saat ini menjadi saksi kisah mereka. Membuat mata Ibra tiba-tiba memanas mengingat pertanyaan yang pernah Nia berikan padanya dengan guyuran hujan sebagai saksi, dimana luruhan air mata Nia turut hadir juga.

'Lalu kedudukanku sebagai istri bagaimana menurutmu, Mas? Apa aku kurang atau sangat tak pantas mendapatkan cintamu?'

Mengingat kalimat itu membuat hati Ibra semakin sakit bahkan jadi berdarah akibat remasan penyesalan itu kian dalam.

"Pulanglah, Dek. Kamulah yang Allah pantaskan atas cintaku."

Kalimat itu terus terucap dari bibir Ibra sampai kantuk melanda. Seakan kalimat itu sebagai pengantar tidurnya. Juga dengan lembaran kertas tulisan tangan Nia yang sempat dibuangnya tadi berada dalam pelukan.

Dalam pejam yang menandakan pemilik netra telah terbuai oleh mimpi, ternyata tidak sepenuhnya menghilangkan beban pikiran. Dengan dengkuran halus pun Ibra masih saja merancaukan kata yang sama, bahkan ditambah pula kata maaf yang berulang-ulang.

"Maafkan aku, Dek."

***

200 vote untuk lanjut

Semarang
22 November 2020

Senin (Revisi)
23 Januari 2023
1 Rajab 1444

Istri Pak Dosen [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang