19. Bandung dan Angan-Angan

60 3 2
                                    

"Aku berharap dia benar-benar hilang dari muka bumi ini, agar segalanya menjadi jelas."

     Aku mulai merokok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     Aku mulai merokok.

Saat bosan sedikit, aku merokok. Sehabis makan, aku merokok. Sehabis mandi, aku merokok.

Aku memang belum kecanduan, karena aku masih bisa berhenti dan memilih untuk tidak merokok. Aku tidak merasakan betapa menyiksa dan merasa gelisah ketika sehari saja aku belum merokok—seperti yang dirasakan pecandu lainnya. Tapi kini aku mengerti apa yang dikatakan orang-orang tentang merokok, dan aku memahami apa yang dirasakan orang-orang ketika mereka mengatakan bahwa—merokok membuat diri tenang dan rileks. Terutama untuk manusia penyandang gangguan kecemasan seperti aku ini.

Kurasa, aku mulai jatuh cinta terhadap nikotin!

     Saat aku mulai merindukan Arga, atau aku mulai gelisah karenanya—seolah rokok menjadi penawar. Mungkin terdengar berlebihan, apalagi jika aku menganalogikan racun sebagai penawar rasa sakit. Namun tanpa sadar aku menjadikan rokok sebagai sahabat. Kala kesepian, kuhisap rokok. Tak peduli ia 'kan menghitamkan bibirku. Toh bibirku tak akan sehitam hidupku yang temaram. Saban hari bersobat asap yang menyertai dalam hari-hariku bak kabut; mengepul; mengaburkan tatap. Kadang asap ini mencolok mataku hingga pedih. Tak apa, perasaanku lebih pedih karena ketidakpastian. Di sisi lain, rokok membuatku menjadi cepat lelah. Berjalan sedikit rasanya ngos-ngosan. Bahkan dadaku terasa sesak.

     Haha, kenyataan hidup jauh lebih menyesakkan.

     Memang—bahkan jelas bahwa rokok tidak baik untuk segala aspek—selain dari apa efek menyenangkan yang aku sebutkan tadi. Pasalnya lidahku jadi lebih pahit dibuatnya. Tapi bagiku itu lebih baik! sekalian saja mati rasa. Perasaan masam jauh lebih membuatku tidak nyaman.

     Malam ini, asbak di hadapanku sudah penuh; abu menggunung. Kukira, aku butuh sebat lagi. Karena memang yang tersisa hanya satu batang.

     Tenang, tembakau masih banyak di ladang!

     Benakku, apa aku harus merogoh kocek lagi untuk satu bungkus rokok malam ini? sudahlah, kuhabiskan ini dulu saja.

     Saat kunyalakan rokok, tiba-tiba Rizky merebut rokokku lalu mematikan apinya dan membuangnya.

     "Udah berapa batang yang Lo isep hari ini?!" sinis Rizky mengintogerasiku.

     "Apaan sih, Ky!" geramku kesal karena merasa diintervensi. "Itu cuman sebatang lagi malah Lo buang! kurang ajar banget sih, Lo!"

     "Emang gue gak tau hari ini—Lo ngabisin berapa batang? hampir dua bungkus, Luck!" pekik Rizky.

     "Terus kenapa? ribet banget sih Lo!" ketusku.

[BL] Red VelvetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang