16| Utang Setia

3.6K 250 7
                                    

Pov. ALAN

         "Tidak mungkin ... aku tidak mungkin bersikap sekasar itu kepada Aulia!" desisku. Seraya cengkraman tangan di kerah jas yang dikenakan Sekretaris Indra mengerat.

Pagi ini aku begitu terguncang, saat Sekretaris Indra--orang yang sangat kupercayai mengadukan hal yang akhir-akhir ini kulakukan. Namun, tak sedetik pun dari peristiwa itu tersimpan dalam ingatan.

Pria yang usianya dua tahun di bawahku itu, hanya bisa menundukkan kepala dalam-dalam. Tak sanggup membalas tatapanku.

"Tapi Anda sungguh melakukannya, Pak." Lirih suaranya membalas. Antara gemetar takut dan prihatin dengan sesuatu yang baru saja kusesali.

"Aku butuh bukti!"

"Anda bisa memeriksa rekaman CCTV kantor dan menanyakannya kepada Ibu Anda, Pak."

          Wanita yang usianya hampir menginjak angka 60 tahun itu menatapku dengan semburat bening di mata saat pintu ruangan kamar terbuka. Memperlihatkan aku yang berdiri dalam keadaan kacau di ambang pintu.

"Katakan Ibu ... katakan bahwa semua itu tidak benar! Aku ... aku tidak pernah melupakan Aulia, katakan Ibu ...."

Duduk di tepi ranjang, Ibu mengusap sudut mata. Lalu berpaling menatap jendela balkon seraya mengerjap untuk ke sekian kalinya.

Lalu hening mengambil alih.

Setelah lama terpaku, Ibu kembali menatapku dengan sisa tangis di sudut mata. Lalu mengulurkan tangan sambil berkata, "kemarilah. Peluk Ibu."

Aku melangkah gontai, mendekati Ibu. Lalu bersimpuh di depan kakinya. Detik itu juga, aku membenamkan diri dalam tangis yang lepas di pelukan Ibu.

"Tak apa, kau hanya melakukannya sekali. Itu pun hanya sebentar. Tak apa, Nak. Kau hanya berubah padanya sekali, itu pun bukan keinginanmu," ujar Ibu dengan suara lirih bercampur isak. Telapak tangannya senantiasa membelai punggung dan rambutku. Mengalirkan sedikit ketenangan di hati yang meriak, bagai ombak yang dengan ganas menghantam kapal hingga karam.

Kilasan peristiwa yang entah kenapa baru saja singgah di ingatan membayang tanpa henti di kepala. Seperti aku tengah menyaksikan pertunjukan drama di depan mata. Aulia yang datang padaku dengan senyum merekah di bibir. Lalu harap akan sambutan baik dariku lenyap bersamaan binar yang redup dari matanya.

Setelah itu bentakan kasar, tatapan nyalang, makina membuat air matanya menganak sungai.

Andai aku bisa menghentikan waktu. Maka akan kuhentikan jarum jam berputar pada pukul di mana Aulia datang menemuiku. Akan kulakukan segala cara agar dia jangan menemuiku saat itu.

Saat aku bahkan tak ingat jati diri sendiri!

Katakan padaku, bagaimana cara berlapang dada dan berhenti menyalahkan Tuhan atas takdir yang tak pernah kuinginkan? Namun, telanjur tertulis sebagai garis hidupku?

Enam bulan yang lalu, Dokter memvonis sebuah penyakit yang bersarang di tubuhku. Kanket otak stadium 4, katanya. Tentu saja saat itu aku sempat meragukannya, hingga masih sempat tertawa remeh. Karena kupikir, sakit kepala yang sering kualami adalah hal biasa.

Namun, dari hari ke hari keadaanku semakin memburuk. Sakit di kepalaku semakin sering dan menjadi-jadi, kadang sampai membuatku terkapar tak sadarkan diri tak kenal tempat.

Kau tahu bagian terbaiknya, kemungkinan untuk sembuh sangatlah kecil. Aku semakin parah dan bisa dikatakan sekarat.

Kadang, dalam hening malam yang larut. Dalam temaram ruang kamar, aku sering membayangkan bagaimana nantinya jika semua saraf di dalam tubuhku lumpuh secara bertahap dan perlahan-lahan.

Mungkin, diawali dari gangguan pada memori. Membuatku bisa saja melupakan banyak hal, misal tentang siapa Aulia, dan segala kenangan tentangnya.

Lalu, penglihatanku yang mengabur dan menggelap seiring waktu. Hingga tak bisa lagi menyaksikan wajah Aulia. Disusul hilangnya fungsi pacra indra lainnya, bisa-bisa aku tak dapat lagi mengendus harum tubuh Aulia. Mendengar suara lembutnya, melihat senyum manis yang selalu terpahat di wajahnya, tak bisa lagi mengeluarkan suara. Bahkan hanya untuk memanggil namanya dan menggoda dengan ucapan,

"Aulia mari kita rujuk?"

Atau bahkan, aku tak dapat lagi menyentuh Aulia. Berjalan ke arahnya jika sewaktu-waktu tangan dan kakiku mati rasa.

Celakanya, mungkin aku dan Aulia akan benar-benar terpisah jauh karena telah berbeda tempat berpijak.

Dia di atas tanah, sementara aku di bawahnya.

Saat-saat itu, tak ada yang terlintas di benak kecuali janji yang pernah kuucapkan pada seorang wanita. 

Wanitaku. 

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kecuali, ajal yang membuatku pergi."

Pagi itu, dia mengerjap dalam dekapanku di atas ranjang. Kami baru saja melewati malam panjang, malam pertama.

Sepersekian detik setelah matanya mengerjap sadar, dia cemberut.

"Apa maksudmu berkata begitu? Mau mati sekarang? Aku tidak mau jadi janda muda!"

Aku mendengkuskan tawa ringan. Dasar wanita aneh! Bukankah momen seperti itu terlalu romantis untuk digunakan adu debat.

"Aku sedang berjanji kepadamu, Lia!"

"Benarkah? Lalu harus kuapakan jika suatu ketika kau mengingkarinya?"

"Benci saja aku!"

"Mana bisa aku membencimu!"

"Maka aku yang akan pergi."

"Kenapa begitu?"

Aku tak dapat menjawab. Kenapa aku yang harus pergi jika sewaktu-waktu ingkar janji? Karena, alasanku pergi hanya satu. Yaitu, ketika nyawa tak lagi bersarang di raga ini.

"Baiklah, Alan. Janji adalah utang, jika kau mengingkarinya maka kau berutang setia padaku!"

Dan, aku mengingkarinya. 

Aku meninggalkan Aulia.

Setelah hakim ketuk palu, kami resmi berpisah. Satu minggu setelahnya, kabar baru sampai ke telingaku bahwa Aulia menghilang.

Malam itu,  hujan deras mengguyur bumi. Langit kota pekat oleh gelap, gelegar guntur, kilatan petir seolah gambaran dari suasana hatiku saat itu.

Kesedihan, gelisah, marah melebur jadi satu.

Tertatih-tatih aku memasuki rumah kontrakan sederhana, tempat aku dan Aulia bernaung selama dua tahun menjalani bahtera rumah tangga. 

Menelisik setiap sudut di dalam ruangan yang berisi kenangan. Aku terpaku dengan ribuan anak panah serasa menancap di jantung, saat bingkai foto berukuran sedang masih terpajang di dinding kamar.

Di balik kaca retak, terlihat aku dan Aulia duduk berdampingan mengenakan baju pengantin, seraya tersenyum bahagia ke arah kamera.

Tiga tahun setelah hilang kabar. Aku kembali melihat Aulia. 

Wanita itu tak pernah berbeda. Masih cantik seperti pertama kali aku melihatnya. Perbedaannya ialah, sekarang dia lebih banyak tersenyum dan tertawa.

Tak sedikit pun terbesit dalam benak, untuk kembali muncul ke hadapan Aulia sebagai pria yang berhutang kesetiaan. Kubiarkan dia bahagia dengan pria lain, yang selalu mengapit tangannya menuju bahagia.

Sampai dokter mengatakan, bahwa nyawaku menuju ke ujung tanduk. Lalu, terbesit janji yang pernah aku ucapkan.

"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kecuali ajal yang membuatku pergi."

Aku terima, jika tenggang hidupku tak panjang. Aku ikhlas.

Namun, aku tidak ingin mati meninggalkan utang.

Utang setia kepada Aulia.

Sebab itu aku kembali padanya, untuk melunasi utangku. Kuakui, alasanku begitu egois.

****

MANTAN SUAMI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang