7| Sebuah Pulau

5K 322 2
                                    

    Pagi.

Aku terjaga oleh sinar mentari yang menembus gorden jendela kayu. Aku bangkit perlahan dengan menopangkan beban tubuh di kedua siku, lalu mengawasi sekitar.

Pemandangan yang begitu asing. Semua dinding terbuat kayu berwarna cokelat gelap. Tak banyak pajangan seperti di kamarku. Hanya satu lemari kayu, meja dengan tumpukan buku di atasnya, lalu satu jam dinding dan bingkai foto seorang wanita.

Ah, aku ingat. Sekarang aku sedang berada di Kampung Nelayan yang letaknya berada di sebuah pulau. Dan entah akan berapa lama aku akan menetap di sini. Tergantung dari seberapa nyamanya tempat ini.

Aku berjalan menuju jendela kayu. Menyibak gorden, mengintip pemandangan di luar sana dari tempat berdiri.

Hamparan pasir putih, laut biru bercampur hijau toska sejauh mata memandang. Perahu para nelayan berjajar rapi di bibir pantai. Ketenangan. Tak terdengar deru mesin kendaraan yang bising memekakkan telinga, kecuali kicau burung camar yang terbang merendah di atas permukaan laut.

"Sudah bangun?"

Aku menoleh ke sumber suara. Shara berdiri di ambang pintu sambil memandang ke arahku, sesekali menggesekkan kain handuk ke rambutnya yang basah.

"Ya," jawabku. Lalu kembali berbalik menatap ke luar.

"Mau ikut aku mengajar hari ini?" Dita mengajak.

"Boleh." Aku langsung setuju. Bahkan, sangat bertenaga untuk berjalan jauh menjelajahi tempat baru.

.

       Aku menatap bangunan tunggal yang berdiri di hamparan tanah tandus, berdinding papan tipis yang telah berlubang di beberapa bagian akibat digerogoti rayap. Bangunan itu adalah satu-satunya kelas di mana para murid didikkan Shara belajar dengan semangat berapi-api.

Prihatin, itu lah yang kurasakan. Di luar sana banyak murid beruntung yang dapat bersekolah dengan nyaman. Dengan fasilitas memadai, seperti belajar dinaungi gedung beratap. Namun, beberapa dari mereka malah seperti tidak menysukuri dengan belajar tidak serius.

Sementara anak-anak yang tinggal di desa terpencil pesisir pantai. Ke sekolah tanpa seragam dan alas kaki, bahkan alat tulis pun seadanya. Namun, semangat mereka tak main-main. Mereka serius.

"Apa yang membuatmu betah berada di sini?" tanyaku. Ketika Shara telah kembali ke depan kelas setelah mengajari satu murid di bangku paling belakang.

"Entahlah. Aku hanya merasa cocok dengan mereka semua, murid-muridku, penduduk di sini yang sangat menghargai kehadiranku," jawab Shara. Pandangannya lurus ke depan. Namun, aku tahu dia sedang menerawang ke masa lalu. Ke masa saat di mana dia harus diberhentikan dari sebuah Sekolah Menengah Pertama dan dipindahkan di tempat ini.

Shara pernah melakukan kekerasan terhadap seorang murid laki-laki yang kedapatan merokok di dalam kelas. Awalnya, dia menegur secara halus. Namun, jiwa pemberontak mana tahu diperlakukan lembut. Siswa itu melawan. Shara yang naik pitam, melayangkan satu kali tamparan ke pipi siswa.

Satu tamparan sudah bisa membuat orang tua murid datang ke sekolah sambil mengamuk. Menuntut kepada kepala sekolah untuk mengeluarkan Shara atau orang tua siswa itu akan membawa kasusnya ke jalur hukum.

Saat itu, Shara benar-benar terpukul. Dia begitu terpuruk. Merasa menjadi orang paling gagal, dia merasa sia-sia menempuh pendidikkan bertahun-tahun hingga sarjana dengan susah payah jika dipecat sebagai guru.

Aku dan Nina, tetap menyemangati Shara. Memberikan dukungan, bahwa dia tidak boleh menyerah. Tidak boleh putus asa.

Hingga kepala sekolah mengeluarkan keputusan, Shara tidak dipecat sebagai guru. Dia hanya akan dipindah tugaskan di desa terpencil yang terletak di sebuah pulau.

MANTAN SUAMI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang