3| Bertahan Dalam Keadaan Sekarat

7.1K 437 2
                                    

#MANTAN_SUAMI 3

        "Apa kau lupa? Ibumu sangat membenciku dulu ... hingga pernah mencoba untuk membunuhku!" teriakku dengan suara parau bergetar. Isak tangis tertahan di tenggorokan, aku menggigit bibir bawah. Berusaha menahan tangis yang hampir pecah.

Alan terdiam. Menatapku tanpa berkedip.

Beberapa saat kami terkurung dalam kebekuan. Isak lirihku menjadi suara yang mengisi kebisuan. Hingga Alan berjalan mendekat sembari mengulurkan kedua tangan. Akan menarik bahuku. Namun, dengan cepat kutepis tangan yang akan menyentuh tubuh ini dan mendorong dada Alan.

"Cukup, Alan. Pergi sekarang juga," desisku lirih.

Terasa rinai meluncur dari sudut mata, hangat saat mengalir di pipi. Dadaku kembang-kempis, ditikam pilu. Seolah tajam mata pisau baru saja dihunuskan ke dinding hati berkali-kali. Membuat segenggam merah di dalam sana remuk tak berbentuk. Sekarat.

"Kau tau, aku baru saja menangis setelah bertahun-tahun kau tinggalkan. Itu artinya ... aku sangat membenci kehadiranmu!" Pandanganku mengabur ketika harus mendongak, kembali menatap Alan.

Kulihat wajah itu. Wajah yang ditimpa bias sinar lampu. Namun, tak menyamarkan gurat kekecewaan yang perlahan terpahat jelas di sana. Sorot mata Alan kosong tak bernyawa saat membalas tatapanku, bahkan dia tak berkedip sekalipun.

Aku berbalik, melangkah gontai memasuki rumah. Sesaat hanya bersandar di pintu kayu  setelah mengunci rapat. Memejamkan mata yang semakin tak terbendung airnya seraya membiarkan tubuhku merosot ke lantai, lalu mulai menangis sejadi-jadinya.

Atmosfer di sekitarku seolah menyusut. Napasku tersengal-sengal didera sesak tak berkesudahan. Kepalan tangan mendarat pelan di dada--berkali-kali--seolah itu dapat meredam perih dari tajam anak panah tak kasat mata yang menghunus membabi buta.

Aku memeluk lutut, meringkuk meredam sakit yang semakin menyiksa. Kenapa masih saja terasa semenyakitkan ini, bahkan setelah aku yakin bahwa diri ini telah kebal oleh luka sedalam apa pun? Bahkan setelah jiwa terlatih oleh goresan yang pernah datang bertubi-tubi.

Seperti tertikam belati ulu hati ini saat keping-keping kenangan mulai terkumpul dan utuh. Mencerminkan setidak berharganya nyawaku dulu. Hingga dengan mudah orang berkuasa menukarnya dengan uang.

Aku ketakutan setengah mati ... saat itu.

[] [] []

        Aulia berada di ruangan luas serba putih dengan berbagai ornamen mewah bertebaran di segala penjuru. Wanita itu bersimpuh di depan meja. Di balik meja tengah duduk seorang wanita paruh baya yang sisa kecantikan masa muda seakan tak luntur dimakan usia--menatap Aulia tajam.

Jelas mengerling sinis--menyiratkan kepada Aulia bahwa dia sangat membenci wanita itu.

Aulia terpaksa merendah dengan bersimpuh sambil menundukkan kepala, karena tahu dengan siapa dia tengah berhadapan sekarang--calon ibu mertua yang dihormati semua orang karena statusnya konglomerat.

"Sebut jumlah uang yang kau mau, lalu lepaskan putraku. Atau aku yang harus memisahkan kalian berdua dengan caraku sendiri?" Nyonya Alena berkata datar, ralat. Dia tidak berkata, tetapi memerintah.

Aulia mendongakkan kepala, kedua tangan yang bertumpu di paha terkepal erat. Cukup sudah hormat bagai manusia tanpa harga diri, pikir Aulia. Lalu wanita itu bangkit berdiri. Membuat tatap matanya berada dalam satu garis lurus dengan Nyonya Alena.

"Putramu lebih berharga dibanding uang, Nyonya. Apa kau susah payah melahirkan seorang anak hanya untuk dijual?" Aulia mencetus dengan tenang. Padahal di dalam dada bergemuruh.

MANTAN SUAMI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang