15| Pernikahan Yang Batal

4.7K 296 12
                                    

         Lama tidak bertemu. Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk menemui Andre, sekaligus mengatakan padanya tentang kejelasan hubungan kami berdua.

Masih di kafe yang sama. Tempat duduk yang sama. Dua cangkir kopi yang sama. Sebuket mawar merah yang sama. Namun, dengan perasaan yang berbeda.

Andre dengan rasa cintanya yang masih membara--semua terpancar dari sorot mata pria itu ketika menatapku begitu intens. Sementara aku dengan rasa hambar akibat bara cinta yang teredam dengan sendirinya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Andre. Sudah hampir setengah jam kami berada di sini. Namun, belum ada pembicaraan berarti. Bahkan, kopi di cangkirku masih utuh, tak sedikit pun tersentuh.

Aku mengangguk samar. Bersamaan dengan senyum yang merekah di bibir Andre, dan gurat lega di wajahnya.

"Bisakah kita bicara sekarang? Tanpa kamu harus terus-menerus menatap ke sana," kata Andre seraya mengedikkan kepalanya ke luar jendela, yang menjadi titik tatap mataku selalu mengarah.

"Tatap aku saja," imbuh Andre, lirih.

Aku tersenyum, lagi-lagi hanya bisa menganggukkan kepala sebagai isyarat bahwa aku akan menurutinya. Dan sejak detik ini, tatap mataku tak pernah teralih dari wajah Andre.

Aku mendengarkan dia berbicara, bercanda, tertawa, tersenyum dengan pandangan mulai berkaca-kaca.

"Kamu tahu, saat itu Andien masih berusia lima tahun saat aku dan Kak Andra membawanya berlari tergopoh-gopoh akibat dikejar anjing tetangga yang buah mangganya kami curi." Andre mengakhiri ceritanya dengan gelak tawa yang begitu bebas.

Dan seketika, hatiku terasa tersayat-sayat. Membayangkan betapa patahnya pria ini saat aku mengeluarkan kalimat 'Andre aku ingin membatalkan pernikahan kita. Aku tidak bisa menikah denganmu!' Pasti tawanya akan lenyap. Mungkin seumur hidup.

Aku ikut tergelak, meskipun kisah lucu Andre bersama saudara-saudaranya bahkan tak singgah di telingaku. Aku tetap tertawa, kencang, semakin kencang hingga berhasil mengeluarkan air mata kesedihan.

Aku masih tertawa, sementara sesuatu yang terasa hangat menitik dari sudut mata. Semakin sering dan semakin banyak. Kulihat tawa di wajah Andre memudar, dia menatapku. Kebingungan.

"Aulia, kamu menangis?" tanyanya. Dengan raut cemas yang perlahan terpahat di wajah.

Aku menggeleng cepat. Namun, malah sesegukkan hingga bahuku terguncang.

"Ceritamu lucu sekali, Andre ...." Aku meraup wajah dengan kedua telapak tangan menempel di sana selama beberapa saat.

Air mata ini sebagai permintaan maafku, Andre.

Setelah tangis diam-diam ini lumayan reda. Aku menarik telapak tangan agar menjauh dari wajah. Menarik napas, lalu mendengkus tawa sekali lagi.

"Ceritamu lucu sekali, sampai aku tertawa dan mengeluarkan air mata," ujarku. Meyakinkan Andre bahwa, sungguh, air mataku menetes karena memang tawa lepas yang tak bisa dikendalikan.

Andre kembali tersenyum, kali ini begitu kaku. Aku tahu, dia tidak percaya ucapanku. Dalam hatinya, pasti pria itu sibuk menerka-nerka.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

.

       Aku duduk kursi dengan satu telapak tangan satu telapak tangan menopang dagu, membuatku terpekur lama sambil memandangi vas bunga lily yang telah layu di tubir jendela. Aku tidak tahu, apa yang membuat bunga-bunga indah itu jadi tak cantik lagi.

Derau hujan mengisi pendengaran di ruang kamar yang temaram. Hanya diterangi satu lampu berwarna kekuningan. Lewat jendela yang tak tertutup tirai, aku dapat melihat tetes-tetes air hujan yang menguncur dari atap. Seolah tengah berlomba-lomba jatuh ke tanah.

MANTAN SUAMI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang