14|Pilihan

4.1K 281 6
                                    

        Aku terpaku setelah lembaran merah itu terlempar ke wajah. Merasakan ribuan jarum kecil tengah melesat ke dinding hati dan bersarang lama di sana sebagai luka abadi.  Sementara Alan mengambil ancang-ancang berdiri, aku segera menahannya.

"Drama apa lagi kali ini?" suaraku bergetar menahan isak. Sementara pandangan mengabur saat membalas tatapan tajam Alan.

Alan mendengkus di seberang meja. Masih menatapku dengan sorot mata sama, dingin dan datar.

Sementara air mata meleleh membasahi pipi. Aku bingung oleh sikap Alan. Ada apa sebenarnya? Mengapa bersikap seperti ini lagi?

"Beberapa hari lalu kamu datang padaku, Alan. Aku harap kamu tidak lupa, bahwa kita telah rujuk," ujarku. Dengan napas tersengal-sengal, bersusah payah menahan tangis agar tak pecah di sini. Meskipun air mata tak dapat dibendung, maka terus berderai membasahi pipi.

Tak terlihat sedikit simpati dari raut wajah Alan. Malah sebaliknya, dia menatap dengan kedua alis yang saling bertaut tajam. Rahangnya bergemelatuk.

Detik berikutnya pria itu berdiri dari tempat duduk, secepat itu pula dia mendekat ke arahku dan menempelkan jari di rahangku dengan sedikit menekan.

"Jangan bermain-main dengan saya!" desisnya, marah.

Aku memejamkan mata, menahan sakit yang terasa di rahang akibat kuat cengkraman tangan Alan. Sekali sentakan, tekanan jemari Alan di rahang terlepas. Pria itu sengaja melepaskannya.

Aku menghela napas, meredam sesak di dada yang kian menjadi. Dan membiarkan Alan melengganh pergi, lalu keluar ruangan dengan bantingan pintu hingga bahuku tersentak akibat debamnya.

****

       Aku menatap bunga lily putih di dalam vas. Lama-kelamaan pandangan yang tadinya jernih malah sedikit mengabur, lalu air lolos begitu saja dari sudut mata.

Aku terlalu lemah, bahkan hanya untuk menggerakan punggung tangan menghapus tanda kelemahan ini. Aku terlalu rapuh, untuk menerima kenyataan dan mengakui kesalahan.

Seharusnya, sejak awal tetap membentengi diri dengan sikap dinginku kepada Alan. Bukan malah memberikan tanda lampu hijau, sehingga dia dengan leluasa dan lebih jauh lagi masuk ke dalam hidupku.

Aku sungguh bingung dengan perasaanku sendiri. Rumit. Di satu sisi aku ingin kembali bersama Alan, sementara di sisi lain aku tidak ingin melukai Andre dengan mengakhiri hubungan di antara kami secara sepihak.

Aku tersentak kaget dari lamunan oleh dering hape yang tergeletak di meja. Sekilas melirik nama pemanggil yang tertera di layar. Nina. Mengerutkan kening hanya karena terheran dengan Nina yang tiba-tiba saja menelepon sepagi ini. Tumben. Padahal, wanita itu sangat sibuk bahkan sampai tak sempat menyapa ketika kami berada di restoran.

Aku meraih benda pipi itu dan menjawab panggilan telepon Nina. Hape menempel di telinga bersamaan dengan sapaan Nina di seberang sana.

"Hallo, Lia?"

"Hallo, Nina."

"Bagaimana keadaanmu?"

Aku terdiam, menahan sebak di dada yang entah mengapa semakin menjadi ketika seseorang baru saja menanyakan keadaanku yang terpuruk ini.

Sudah berusaha kutahan. Namun, tetap saja isak tangis meluncur dari bibir dan sampai ke telinga Nina di seberang sana. Aku menggigit bibir yang bergetar ketika ingin berbicara seraya tangan yang kian erat menggenggam hape.

Nina yang sangat hapal kondisiku lantas saja mencetus, "baiklah. Tunggu aku, aku akan ke rumahmu sekarang."

Seolah Nina berada di hadapanku sekarang, aku menjawabnya degan anggukan pelan. Lalu sambungan telepon terputus.

MANTAN SUAMI (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang