Tak butuh waktu lama, mobil sedan milik Rendy sudah memasuki area parkir rumah sakit. Setelah memarkirkannya, aku dan Rendy pun keluar dari mobil.
“Ren,” panggilku.
“Kenapa sayang? Takut?” tanyanya sambil merangkul pundak kecilku. Sepertinya ia dapat merasakan aura ketakutanku yang begitu kuat terpancar dari sorot mataku.
“Iya, gimana kalau terjadi apa-apa sama aku?” tanyaku lirih. Rendy memberhentikan langkahnya, yang otomatis aku juga ikut berhenti. Kemudian, ia memelukku dan mengelus-elus pundakku.
“Kamu gak perlu takut sayang, apapun yang terjadi, percaya sama aku aku gak bakalan pernah ninggalin kamu. Aku sayang kamu. “ Ia melepas pelukannya. Sungguh, di saat seperti ini hanya Rendy yang mampu menguatkanku. Perihal ucapannya barusan, aku berharap Rendy akan selalu menepatinya, dan tidak akan meninggalkanku.
Kami pun lanjut berjalan. Kami berjalan menuju lift, kemudian menuju ruangan dokter Andrew yang berada di ujung lorong sebelah kiri. Sebelumnya, aku sudah membuat janji dengan dokter Andrew, sehingga aku langsung menuju ruangannya saja. Aku mengetuk pintu ruangan itu dengan perlahan, namun tidak ada balasan. Aku mencoba mengetuk lagi, namun benar-benar tidak ada jawaban dari dalam sana. Aku menatap Rendy, dengan tatapan bertanya. Seolah mengerti maksudku, Rendy mengedikkan bahunya.
“Permisi, Dik. Adik mau cari dokter Andrew, ya?” Seorang suster bertanya padaku, dan Rendy. Aku lantas mengangguk.
“Iya, Sus. Dokter Andrewnya kemana ya, Sus? Soalnya, daritadi saya ketuk, tidak ada jawaban dari dalam. Mau masuk, hanya saja terkesan kurang sopan,” jawabku.
Suster dengan name badge bertuliskan “Marissa Lestari” itu tersenyum kepadaku.
“Dokter Andrewnya kebetulan sedang keluar, Dik. Ada urusan mendadak. Tadi, dia menitipkan pesan kepada saya agar adik menunggu sekitar 15 menit dulu di ruangan. Dokter Andrew akan segera kembali.”
“Oh gitu ya, Sus. Kalau begitu, saya dan pacar saya menunggu di rooftop saja dulu. Sekalian cari angin di sana. Terima kasih informasinya, Sus.”
Suster Marissa mengangguk, kemudian kembali ke tugasnya. Sedangkan, aku mengajak Rendy untuk pergi ke rooftop saja untuk mencari angin.
Sesampainya di rooftop, aku langsung menghirup kuat-kuat angin segar sebisaku menghirupnya. Rasanya, benar-benar sejuk. Kulihat Rendy juga melakukan hal yang sama denganku. Kami lalu memilih duduk di tepian rooftop. Aku meluruskan kakiku yang sedikit sengal.
Aku menepuk-nepuk kakiku, berusaha menghilangkan sedikit rasa sengal itu. Namun, hanya sekejap, karena, sedetik setelahnya, pandanganku terkunci pada warna jingga yang mulai menghiasi langit. Benar-benar pemandangan yang indah. Tidak rugi juga jika aku harus menunggu dokter Andrew terlebih dahulu, karena ternyata matahari terbenam turun lebih cepat dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Kanker [Completed✔]
Short Story[ Juara 2 Challenge Novelet CIA ] Awalnya, aku tidak percaya adanya takdir. Namun, setelah bertemu denganmu, aku percaya bahwa takdir itu benar-benar ada. Teruntuk, penyakit kanker yang telah menemani hariku, terima kasih. Terima kasih, karena tela...