3 hari berlalu, dan sekarang aku sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sebelum pulang, aku meminta izin kepada papa untuk pergi sebentar bersama Fino, ke tempat yang ia janjikan padaku sebelum aku operasi. Sekaligus, menuntut jawaban-jawaban dari pertanyaan yang kini menggumpal di kepalaku.
“Sebelum naik ke mobil, nih, pake dulu kain ini buat tutupin mata kamu.” Fino memberikan sebuah kain berwarna merah kepadaku.
“Untuk apa? Kok main tutup-tutup mata segala?”
“Udah, pake aja dulu.” Dengan perasaan yang masih dilanda sejuta kebingungan, aku mengambil kain itu lalu menggunakannya untuk menutup mataku. Setelah itu, aku dituntun Fino masuk ke mobilnya.
Menit-menit di mobil kulalui dengan rasa penasaran, kemana Fino akan membawaku pergi? Ke suatu tempat? Tempat apa itu?
Bergelut dengan perasaan penuh tanyaku, tak kusadari, Fino sudah memberhentikan mobilnya, lalu ia keluar dari mobil serta membukakan aku pintu mobilnya. Dituntunnya aku keluar, berjalan menapaki jalan yang terasa tidak rata. Hal itu tentunya semakin menguatkan rasa penasaranku. Aku hendak bertanya, namun, rasanya lidah ini begitu kelu. Akhirnya, aku hanya bisa menelan pertanyaan itu sendiri.
“Taraa, udah sampai. Sekarang kamu boleh buka kain penutup mata kamu.” Dengan bantuan Fino, aku segera melepas kain itu, dan ….
Mengapa Fino membawaku ke tempat seperti ini? Makam? Kulayangkan mataku pada sekeliling area itu, dan mendapati bahwa tempat kami berdiri sekarang adalah tepat di depan makam mama. Tak sempat aku bertanya, Fino sudah menarik tanganku untuk bersimpuh di depan makam mama.
“Kamu pasti bertanya-tanya, kenapa aku bisa membawa kamu kesini, ke makam mendiang mama kamu. Kamu juga pasti bertanya-tanya, mengapa aku bisa berada di ruangan kamu pada saat itu, mengenakan pakaian dokter. Dan, sesuai janji aku, aku bakal jawab semua pertanyaan-pertanyaan kamu sekarang juga.”
Sesaat Fino menarik napas, beriringan dengan aku yang memfokuskan pikiranku, untuk mencerna cerita Fino.
“15 tahun yang lalu, aku sama seperti kamu. Mengidap kanker darah bernama leukemia. Pada saat itu, aku tinggal di panti asuhan karena baru saja ditinggal pergi oleh kedua orang tuaku. Beberapa kali, aku mendapati lebam di tanganku. Padahal, tanganku tidak terbentur apa-apa. Karna dulu aku adalah seorang introvert, maka aku tidak mengadu kepada ibu panti asuhan yang merawatku dulu.
Hingga, pada satu hari, ada seorang ibu dokter yang mengunjungi panti asuhan tempat aku tinggal. Awalnya, tujuan kedatangannya untuk membawa putri kecilnya bersenang-senang bermain dengan anak panti yang lain. Tapi, setelah ia melihat sekujur tubuhku yang lebam, dia datang kepadaku dan bertanya, “Kamu kenapa? Kenapa tanganmu lebam-lebam sayang?”
Aku hanya menggeleng mendengar pertanyaan dari ibu dokter itu. Lalu, tiba-tiba saja mimisan keluar dari hidungku yang membuatku pingsan. Saat itu, aku dibawa dokter itu pergi ke rumah sakit. Dari sana, aku didiagnosa menderita penyakit leukemia akut.
Aku hanya terdiam mendengar penuturan dokter itu kepada ibu panti asuhan ku. Ibu panti asuhanku bertanya kepada dokter itu mengenai kesembuhanku. Dari sana, aku dapat mengetahui bahwa penyakitku sangat parah. Lalu, aku menangis menjerit-jerit dan berlari keluar dari ruanganku. Di taman, aku tidak henti-hentinya menangis.”
Fino memberhentikan ceritanya. Lelaki itu menarik terlihat menarik napas dalam, sepertinya cerita ini begitu berat bagi Fino.
“Saat aku berlari keluar, bu dokter yang tadi datang bersama anaknya itu menghampiriku, kemudian ia berjanji akan menyembuhkanku. Tapi, aku mengajukan sebuah pertanyaan, bagaimana kalau aku gak bisa sembuh? Dokter itu justru memelukku dan berkata bahwa ia akan berusaha segala cara untuk menyembuhkanku. Hingga hari itu tiba, aku harus menjalani operasi sum-sum tulang belakang.
Ah, aku yang kecil tidak tahu apa-apa, hanya menurut saja. Setelah operasiku dilaksanakan, aku tidak lagi melihat wajah bu dokter itu. saat kutanya kepada ibu panti asuhan mengenai keberadaan dokter itu, dia tidak menjawab. Dan sebelum operasi itulah, pertemuan terakhirku dengan dokter baik hati itu.
Belasan tahun kulewati, hingga akhirnya aku lulus dari salah satu universitas ternama di luar negeri. Aku dikenal sebagai lulusan termuda yang berhasil menyelesaikan S1 sekaligus S2 dalam tiga setengah tahun saja. Hingga, setahun lalu, aku memutuskan untuk pulang ke tanah kelahiranku dan menjadi dokter di rumah sakit tempat kamu dirawat kemarin, sekaligus rumah sakit tempat aku menjalani operasiku belasan tahun lalu.
Berdasarkan informasi-informasi yang berhasil aku kumpulkan, aku mencari keberadaan dokter tadi. Dan, ternyata, dokter itu sudah meninggal, tepat di hari aku dioperasi, karena sebuah kecelakaan. Dan kudapati bahwa makamnya berada disini. Ya, dokter baik hati itu adalah mendiang mama kamu.”
Aku menoleh ke arah Fino, yang sedang menampilkan senyumnya.
“Setelah aku mengetahui bahwa mama kamu telah tiada, maka aku berjanji dengan diriku sendiri, aku akan mencari anak perempuannya dan menjaganya selalu dengan seluruh jiwa dan ragaku. Hingga, akhirnya kita dipertemukan di salah satu taman rumah sakit. Wajahmu yang begitu persis dengan mamamu, membuatku yakin bahwa kamu adalah orang yang aku cari-cari selama ini,” lanjut Fino menyelesaikan ceritanya. Lalu, ia menyeka air matanya yang mulai turun.
“Ternyata dunia sesempit ini, ya. Jadi, kamu di sini itu sebagai dokter? Bukan untuk menjenguk papa kamu?”
Fino mengangguk. Aku lantas tersenyum, menatap gundukan tanah tempat peristirahatan terakhir mama.
“Aku pikir, penyakit leukemia itu akan menjadi jalan dimana aku dan mama akan dipertemukan lagi di atas sana. Aku pikir, hidupku hanya sebatas hitungan hari atau bulan saja. Aku pikir, Tuhan sudah tidak sayang sama aku, hingga aku diberikan cobaan untuk menghadapi penyakit ini. Tapi, ternyata semua ini berlalu tak sesuai dengan apa yang kupikirkan. Benar kata kamu, bahwa semua yang pernah dan akan terjadi, adalah bagian dari rencana Tuhan. Dan, rencana Tuhan sudah pasti yang terbaik.”
Fino tidak membalas ucapanku barusan, melainkan ia menarik tanganku lalu mendekapku di peluknya.
“Kalau tahu begini caranya, aku akan sangat berterima kasih kepada penyakitku, terlebih kepada Tuhan yang telah memberiku cobaan tersebut. Cobaan itu memanglah sedikit menyakitkan bisa diingat, akan tetapi, siapa sangka bila itu adalah suatu takdir yang harus aku terima, untuk dipertemukan dengan kamu.”
“Jadi, kamu merasa beruntung karena bertemu dengan aku?”
Aku menoleh, kemudian melihat alis Fino yang bergerak naik turun, seolah sedang meledekku.
“Kalau ditanya beruntung atau enggak beruntung, aku merasa beruntung, Fin. Aku jadi punya teman bercerita, dan kamu benar-benar penyemangat aku ketika aku pikir, aku bakalan merasa sendirian ditinggal Rendy.”
Fino mengelus puncak kepalaku, kemudian berucap, “Kalau begitu, aku jauh lebih beruntung untuk bisa bertemu dengan kamu. Anak dari seorang wanita yang telah menyelamatkanku, dan kamu adalah perempuan terhebat yang pernah aku kenal.”
»»----------------¤----------------««
Benar, bukan? Dunia ini sempit. Terlebih, karena ajaibnya kuasa Tuhan, Ia menjadikan apapun yang kelihatan mustahil menjadi nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Kanker [Completed✔]
Krótkie Opowiadania[ Juara 2 Challenge Novelet CIA ] Awalnya, aku tidak percaya adanya takdir. Namun, setelah bertemu denganmu, aku percaya bahwa takdir itu benar-benar ada. Teruntuk, penyakit kanker yang telah menemani hariku, terima kasih. Terima kasih, karena tela...