Sudah seminggu terhitung sejak kejadian aku pingsan, dan itu artinya sudah seminggu pula aku seperti dipenjarakan di dalam ruangan serba putih yang mencekam ini. Meski sedari tadi, televisi yang dipasang tepat di depanku ini terus saja menyiarkan sebuah acara, tapi tetap saja, tak bisa menghilangkan suasana mencekam di ruangan ini. Terutama bau obat-obatan yang tercium menusuk hingga masuk organ pernapasanku, membuat aku merasa tidak betah berada di dalam ruangan ini.
Seminggu dirumah sakit, maka seminggu pula aku terus merasakan mual yang berujung dengan muntah di setiap kali sesuap makanan di suapkan padaku. Hal ini menyebabkan tubuhku tampak lebih kurus dari sebelum-sebelumnya. Akibatnya, dokter yang menanganiku terpaksa harus menyuntikkan cairan sejenis vitamin ke dalam tubuhku untuk menjaga kestabilan kondisiku yang tidak mendapat sedikit sumber energi pun dari makanan.
“Sus,” panggilku kepada seorang suster yang memang ditugaskan untuk selalu stand by di ruanganku. Lebih tepatnya, papa yang menyuruhnya untuk menjagaku, karena beberapa hari ini papa harus pergi ke luar kota untuk menyelesaikan proyek yang sedang ditanganinya. Sebenarnya papa pun enggan untuk meninggalkanku, hanya saja ia juga tak bisa lepas tangan begitu saja dari proyek sumber penghasilannya selama ini.
Aku merasa kecewa sejujurnya, karena tidak ada papa yang menemaniku di sela-sela kebosananku ini. Akan tetapi, aku juga tidak bisa memaksa papa untuk selalu menemaniku. Sudah cukup papa bekerja membanting tulang untuk mencukupi segala kebutuhanku, dan sekarang ditambah dengan aku yang berada di rumah sakit, membuat biaya hidup yang harus dikeluarkan lebih besar lagi.
“Eh, iya ada apa dek?” tanya suster itu sambil berjalan mendekat kearahku.
“Saya boleh pergi ke taman sebentar untuk menghirup udara segar? Saya sumpek berada di kamar terus-menerus, Sus. Jadi, boleh ya saya keluar? Saya mohon,” pintaku pada suster muda itu. Suster itu pun mengiyakan permintaanku. Sepertinya ia paham betul bagaimana bosannya aku terkurung di dalam ruangan ini. Suster yang kukenal dengan nama suster Lina itu lalu membantuku bangun dari ranjang dan memapahku berdiri. Tak lupa ia juga membawa tiang besi yang diatasnya tergantung kantong berisi cairan yang terhubung dengan infus yang melekat di tanganku.
Dan akhirnya, dunia luar ….
Aku datang.
🎗️🎗️🎗️
Kini aku dan suster Lina sedang berada di taman rumah sakit. Ternyata tidak hanya aku yang sumpek berada di dalam ruangan, tapi pasien-pasiennya lainnya juga. Dapat kulihat ada banyak pasien yang juga berada di taman ini, ada yang hanya duduk sendirian di bangku taman, ada juga yang ditemani dengan keluarganya. Dapat kulihat juga ada beberapa anak kecil yang mengenakan seragam pasien yang sama sepertiku sedang asyik berlari-lari sambil menggenggam beberapa balon berwarna-warni ditangannya. Kemudian, suster Lina mendorong kursi rodaku ke salah satu bangku taman yang masih kosong.
Suster tersebut memposisikan kursi rodaku di sebelah bangku tersebut, sedangkan dia duduk di bangku tersebut.
“Sus, boleh tinggalin saya sendiri dulu?” tanyaku, yang mengisyaratkan suatu pengusiran secara halus. Suster Lina pun mengangguk dan berkata bahwa ia akan menungguku di sekitar sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Kanker [Completed✔]
Storie brevi[ Juara 2 Challenge Novelet CIA ] Awalnya, aku tidak percaya adanya takdir. Namun, setelah bertemu denganmu, aku percaya bahwa takdir itu benar-benar ada. Teruntuk, penyakit kanker yang telah menemani hariku, terima kasih. Terima kasih, karena tela...