Aku berdiri di depan cermin yang tergantung di salah satu dinding toilet. Menatap wajahku yang semakin hari semakin pucat, juga tubuhku yang semakin kurus menyisakan sedikit lemak yang tersisa melekat di tulang. Hal ini lantas membuatku berpikir, apa aku mampu bertahan dengan penyakit ganas ini? Sekalipun aku mampu, maka berapa lama aku akan bertahan?
Setelah keluar dari toilet, aku kembali dibantu suster berjalan menuju ranjangku. Lagi-lagi, aku merasa seperti orang lanjut usia saja, yang harus dibantu kapanpun aku hendak beraktivitas. Apalagi seminggu terakhir ini, bahkan untuk makan saja harus disuap karena keadaan tubuhku yang benar-benar lemah.
Suara decitan pintu terdengar, memecahkan semua lamunanku.
“Hai, Key. Gimana kabar kamu?” Rupa-rupanya Rendy yang datang berkunjung ke ruanganku. Tentunya tidak sendiri, ia ditemani oleh Nayla. Kini, tak ada lagi senyuman sinis yang terpampang di wajah Nayla, melainkan sebuah senyuman hangat khas orang bersahabat.
Perlu kalian ketahui, bahwa kemarin aku sudah mampu mengingat semuanya tentang Nayla, dan aku kembali berbaikan dengan Nayla. Aku melontarkan begitu banyak kata maaf, sebagai rasa penyesalanku sudah pernah melupakan Nayla. Nayla juga berlaku demikian. Ia meminta maaf, sudah pernah menyindir mengenai penyakitku. Ia berkata bahwa itu hanyalah sebuah refleks karena ia begitu kecewa mengetahui aku benar-benar sudah melupakannya. Ia berkata, bahwa selama belasan tahun ia mencariku, dan justru setelah menemukanku, aku malah tidak ingat apa-apa. Ah, aku ini benar-benar kejam.
“Baik, Ren,” jawabku berbohong. Bagaimana mungkin dengan keadaanku yang sekarang, aku dapat berkata bahwa aku baik-baik saja?
“Kamu sendiri, apa kabar, Ren?” tanyaku balik.
Rendy mengangguk, kemudian tersenyum. “Aku juga baik, Key.”
“Oh, iya, aku bawain kamu parsel buah. Semoga kamu cepat sembuh, ya,” ujar Rendy, kemudian lelaki itu meletakkan sebuah parsel yang ukurannya tidak begitu besar itu ke atas meja.
Keheningan tercipta, kala aku, Rendy, bahkan Nayla seperti terkurung dalam pikiran kami masing-masing.
“Aku kesini juga sekalian mau ngasi ini.”
Sebuah undangan disodorkan Rendy kepadaku. Itu adalah undangan pernikahan.
“Secepat ini kalian nikah?”
Rendy mengangguk. “Iya, Key. Sesuai permintaan dari papa, selepas lulus, aku dan Nayla akan segera dinikahkan.”
“Oh gitu, gak kerasa, ya. Kita udah lulus aja. Ralat, kalian udah lulus, hehe. Selamat untuk kelulusan kalian, dan selamat juga untuk pernikahan kalian yang akan datang. Aku bakalan datang, kok. Aku gak sabar, ingin melihat resepsi pernikahan dari mantanku, dengan sahabat kecilku. Semoga kalian berbahagia, ya, dan sukses untuk persiapannya. Doa aku yang terbaik untuk kalian.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Kanker [Completed✔]
Short Story[ Juara 2 Challenge Novelet CIA ] Awalnya, aku tidak percaya adanya takdir. Namun, setelah bertemu denganmu, aku percaya bahwa takdir itu benar-benar ada. Teruntuk, penyakit kanker yang telah menemani hariku, terima kasih. Terima kasih, karena tela...