Keesokan harinya, aku bertemu dengan Fino lagi di taman. Dan ternyata, dia kesini untuk menengok ayahnya. Jadi selepas ia bertemu ayahnya, ia selalu menyempatkan diri untuk duduk sebentar di taman. Seperti sekarang, dia tengah duduk bersamaku di taman. Setelah aku menceritakan semua masalahku padanya, sekarang kami seperti jadi makin akrab.
Ternyata, umurnya tidak jauh beda denganku, hanya berbeda 4 tahun saja. Pantas saja, dia nyambung sekali ketika kuajak bercerita tentang anak muda zaman sekarang, juga pada saat aku bercerita tentang kecintaanku pada dunia K-Pop. Sesekali, aku juga bercerita perihal masa-masa sekolahku dulu. Aku memang mempunyai banyak teman di sekolah, bahkan aku tergolong anak yang ramah, dan mudah bergaul.
Setelah aku puas bercerita, kami bergiliran bercerita. Saat aku bercerita, dia dengan antusias mendengarkan. Begitu pula sebaliknya, pada saat dia bercerita, aku dengan setia mendengarkannya. Dia bercerita perihal kuliahnya, membagiku sedikit ilmu sebelum aku duduk dibangku kuliah.
Dia bilang, kuliah itu ada enak, dan ada tidak enaknya. Enak karena tidak ada yang menghukum kalau tidak kerja tugas, tidak ada yang marah kalau alpa. Tapi tidak enaknya, ya jadi ngulang setahun lagi karena sering alpa dan tidak mengumpulkan tugas sesuai jadwalnya. Dia juga bercerita, pada saat masa ospek, dia dibully habis-habisan oleh kakak seniornya karena dia bergaya seperti orang culun. Saat itu, aku menahan tawaku. Aku bingung, antara ingin tertawa atau harus merasa kasihan padanya.
Ngomong-ngomong, Fino memang memakai kacamata, tapi itu tidak membuat kesannya seperti orang culun. Justru kacamata yang bertengger di hidung mancungnya itu menambah kesan pintar padanya. Aku jadi ragu kalau dia pernah mengulang setahun lagi masa kuliahnya.
Tak berakhir di hari itu saja, besok-besoknya kami bertemu lagi di taman. Melanjutkan berbagi cerita tetapi dengan topik yang lain. Ah, rasanya Fino ini benar-benar tipikal orang yang bisa kujadiin teman untuk bercerita.
Namun, satu hal yang aku herankan. Apakah Fino tidak bekerja? Mengapa ia terlihat begitu santai? Setelah menjenguk papanya, ia tidak pulang untuk melanjutkan kerja, melainkan malah duduk di taman dan bercerita denganku.
Ingin sekali, aku mengutarakan pertanyaan itu. Akan tetapi, di setiap kali kami bertemu, selalu saja aku kelupaan untuk menanyakan hal tersebut.
🎗️🎗️🎗️
Suara pintu yang terbuka, berdecit akibat bergesekan dengan lantai ubin. Aku menghentikan aktivitas membaca bukuku, kemudian menoleh.
“Hai.” Suara sapaan itu hanya selintas melewati indra pendengaranku, karena setelah melihat siapa yang datang, aku langsung berpura-pura tidak mendengar sapaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Kanker [Completed✔]
Historia Corta[ Juara 2 Challenge Novelet CIA ] Awalnya, aku tidak percaya adanya takdir. Namun, setelah bertemu denganmu, aku percaya bahwa takdir itu benar-benar ada. Teruntuk, penyakit kanker yang telah menemani hariku, terima kasih. Terima kasih, karena tela...