Sebentar lagi, aku akan menjalani operasiku. Ini pertama kalinya aku menjalani operasi, maka tak heran bila keringat dingin terus mengucur di kulitku.
“Key, Key harus kuat. Key harus sembuh. Papa yakin, semua operasi ini akan berjalan dengan lancar. Jangan lupa berdoa sayang.”
Papa menggenggam tanganku, dengan erat. Dikecupnya punggung tanganku, kemudian sebuah senyuman dilontarkan kepadaku. Senyuman papa adalah satu-satunya semangat hidupku saat ini. Rasanya, senyuman itu begitu menenangkan, persis saat dulu papa menenangkanku di pemakaman mama.
Aku membalas senyuman papa dengan hal yang serupa. “Iya, Pa. Key janji bakalan sembuh. Papa jangan lupa doain Key, biar operasi ini berjalan dengan lancar.”
“Tidak ada sehari pun yang luput dari doa papa untuk kamu, Sayang. Papa sayang Key.”
“Key lebih sayang papa.” Papa memelukku, dengan kondisi aku yang terbaring di atas brankar. Aku membalas pelukan dari pahlawan terhebat di hidupku itu. Tanpa kusadari, setetes cairan turun tidak memberi aba-aba.
Setelah memelukku, papa memberikan ruang untuk Fino berbicara kepadaku.
“Key, sesuai dengan janji aku saat di danau, jika kamu berhasil melawan penyakit kamu ini, aku akan membawa kamu ke suatu tempat lagi. Tempat yang aku janji, akan kamu sukai, karena kamu akan menemukan ketenangan yang luar biasa di sana. Jadi, berjuanglah melawan penyakitmu. God bless you.”
Orang kedua yang selalu menyemangatiku ialah Fino. Entahlah, aku juga heran, mengapa aku bisa sedekat ini dengan Fino. Padahal, lelaki itu bukanlah teman lama ku. Bahkan, bisa dibilang, pertemuan pertama kami hanya sebatas aku yang bosan di ruangan, dan dia yang melepas penat setelah menjenguk ayahnya.
Akan tetapi, hingga sekarang aku masih tidak tahu, siapa ayahnya Fino? Fino tidak pernah bercerita, dimana ruangan tempat ayahnya dirawat. Ia juga tidak pernah bercerita mengenai perkembangan kesehatan ayahnya. Apa ayahnya masih belum bisa pulang ke rumah dan dikategorikan sembuh? Mengingat Fino yang selalu berada di rumah sakit.
Akan tetapi, masa bodoh dengan semua itu, satu hal yang aku rasakan saat aku bersama Fino ialah nyaman. Jika boleh meminta, aku ingin Fino selalu di sisiku, dan menjadi teman bercerita ku. Aku benar-benar butuh dia sebagai pendengar dan pemberi saran yang baik.
“Makasih, Fin. Aku janji, bakalan sembuh. Dan, awas, ya, kalau kamu ingkar janji.”
Fino terkekeh kecil, tangannya lalu diarahkan ke puncak kepalaku, mengelusnya lembut. “Aku gak bakalan ingkar janji. Seorang Rafino Adelardo ialah pemegang janji yang paling baik.”
Aku membalas ucapan Fino yang sedikit hiperbola itu dengan sebuah pukulan di lengannya. “Apa-apaan, sih. Pede amat,” cibirku.
Fino kembali terkekeh. “Ya sudah, kamu lebih baik berdoa dulu. Sebentar lagi, kamu akan dipindahkan ke ruangan operasi.”
Aku mengangguk, kemudian aku memejamkan kedua bola mataku.
Tuhan, berhasil atau tidaknya operasiku, aku serahkan semua di dalam tangan-Mu. Biarlah semua ini terjadi seturut kehendak-Mu. Jika aku harus pergi sekalipun, aku hanya ingin Engkau menggantikan kebahagiaan dari papa, aku tidak ingin melihatnya bersedih. Namun, besar harapanku untuk kesembuhanku. Lancarkan segala operasiku. Aku berserah kepada-Mu.
🎗️🎗️🎗️
“Mama,” pekikku kala melihat mama yang berdiri tak jauh di depanku sekarang ini.
Aku berlari mendekati mama, kemudian dua buah tangan yang terulur menyambutku dalam hangatnya dekapan.
“Key, mama kangen banget sama Key.“
“Key jauh lebih kangen dengan Mama.”Setelah lama kami berpelukan, aku melepas pelukan itu ketika kedua bola mataku tidak berhenti berkedip melihat pemandangan di sekitar.
“Ma, disini indah banget, ya, tamannya, ada banyak kupu-kupu beterbangan. Ma, Key disini aja ya sama mama. Disini lebih asri, gak kayak di kota, banyak polusi udaranya.”
Mama tersenyum, kemudian menggeleng.
“Sayang, dengerin mama ya. Kamu harus pulang, kamu gak boleh disini.”
Mendengar ucapan mama, dahiku mengkerut, menampilkan sejuta kebingungan.
“Loh memangnya kenapa, Ma?Disini cantik banget tempatnya. Key mau di sini”
“Sayang, dunia kamu sama dunia mama berbeda. Kamu harus pulang, ada papa dan juga Fino yang udah nungguin kamu. Kamu pulang, ya, Sayang. Nanti, kapan-kapan kita bertemu lagi di dalam mimpi. Mama bakalan sering hadir di mimpi kamu. “
“Beneran, ya, Ma? Mama bakalan sering nyapa Key, Key itu rindu banget sama Mama.”Mama mengangguk, kemudian ia mendekapku erat. “Iya, Sayang. Mama akan sering-sering nyapa kamu. Mama sayang kamu.”
“Key juga sayang Mama. Kalau gitu, Key pulang dulu, ya, Ma. Dadah….”
🎗️🎗️🎗️
“Dokter, dokter, pasien sudah sadar.”
“Baik, tetap pantau kondisinya, saya akan memanggil keluarga pasien.”
Meski masih samar-samar, mataku kini sudah terbuka, melihat ke sekeliling ruanganku. Tak lama kemudian, dapat kulihat papa yang memasuki ruanganku dengan bahagianya.
“Puji Tuhan, akhirnya kamu bangun juga sayang dari koma. Papa kira papa bakal kehilangan kamu, Key.” Papa berucap hingga meneteskan air mata. Koma? Jadi, selepas operasi aku koma? Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?
“Syukur, setelah seminggu koma, akhirnya, Key sadar juga. Kondisi Key juga sudah semakin stabil. Jadi, saya nyatakan Key berhasil sembuh dari kankernya,” ucap seorang dokter yang terlihat masih begitu muda. Tunggu dulu, Fino? Dokter itu Fino?
“Tapi, untuk menjaga stabilitas kesehatan Key, maka Key harus istirahat selama beberapa hari terlebih dahulu.”
Dokter itu berlalu setelah berucap demikian. Apa itu memang Fino? Tapi, jika memang Fino adalah seorang dokter, kenapa dia tidak pernah memberi tahuku?
»»----------------¤----------------««Berharap itu boleh. Yang tidak boleh itu ialah menuntut Tuhan untuk mengabulkan harapan kamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita & Kanker [Completed✔]
Short Story[ Juara 2 Challenge Novelet CIA ] Awalnya, aku tidak percaya adanya takdir. Namun, setelah bertemu denganmu, aku percaya bahwa takdir itu benar-benar ada. Teruntuk, penyakit kanker yang telah menemani hariku, terima kasih. Terima kasih, karena tela...