Kita & Kanker - 11 🎗️

707 59 10
                                    

Aku mengerjapkankan kedua mataku, berusaha merasakan cahaya yang mencoba  menusuk masuk ke mataku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengerjapkankan kedua mataku, berusaha merasakan cahaya yang mencoba  menusuk masuk ke mataku. Kuedarkan pandanganku ke sekitar, dan ya, aku masih di ruangan serba putih ini. Aku berhenti menjelajahi seisi ruangan itu, kala mataku menangkap sebuah benda yang tidak asing. Benda itu berbentuk seperti lonceng, atau mungkin memang lonceng. Seketika, kepalaku terasa pusing kala melihat benda itu. Benda itu ….

Ya, benda itu yang dibawa oleh Nayla tadi. Lonceng yang berjumlah dua itu dengan seutas tali berwarna merah yang mengikatnya. Dan, di masing-masing lonceng tersebut terdapat tulisan K dan N, yang mengisyaratkan Keyra dan Nayla.

Kata Nayla, aku dan Nayla pernah bersahabat dulu. Ya, dulu, sebelum aku mengalami sebuah kejadian yang bernama kecelakaan, dan membuat aku sedikit melupakan perihal Nayla.

“Jika aku memberikan kamu lonceng ini, apakah kamu masih ingat denganku?” tanya Nayla. Sebuah lonceng di tangannya yang masih kuperhatikan dengan lekat itu seketika membuat kepalaku pusing. Seperti ada sebuah ingatan masa lalu yang telah aku lupakan, dan sekarang memaksa masuk ke pikiranku.

“Kamu jahat, kalau kamu gak ingat lonceng ini.” Nayla berseru, dengan suara yang mulai terdengar bergegar. Sepertinya, perempuan itu sebentar lagi akan membuat hujan di matanya turun.

“Aku benar-benar gak paham sama maksud kamu, Nay. Kemarin, kamu datang dengan membawa sebuah pengakuan bahwa kita ini pernah menjadi sepasang sahabat, dan sekarang kamu memberikanku lonceng, dan berharap aku bisa memahaminya. Sumpah, Nay, aku beneran gak paham.”

Nayla mendekat, dan memegang kedua bahuku. Tubuhku sempat terguncang karena tangan Nayla yang secara tiba-tiba datang menyambar.

“Key, aku Nayla, sahabat kamu dulu. Sahabat kamu sedari kamu kecil, sahabat kamu yang kemudian kamu lupain. Apa kamu gak ingat?”

Mendengar perkataan Nayla barusan, membuat kepalaku semakin berdenyut. Sungguh, aku tidak bisa mengingat apa-apa. kepalaku sungguh pusing.

“Kalau memang kita pernah sahabatan, mengapa aku melupakan kamu?”

“Kecelakaan. Karena kecelakaan yang membuat kamu terkena amnesia sebagian, dan kemudian orang tua kamu membawa kamu pergi dari kehidupanku. Alhasil, kamu benar-benar melupakan aku, Key. Kamu jahat!”

Tangan Nayla yang tadi seperti memegang bahuku, kini mendorongku hingga aku nyaris oleng. Beruntungnya, aku masih bisa menjaga keseimbanganku.

“Kamu jahat, Key!” Seketika, suara tangis terdengar beriringan dengan turunnya air hujan dari pelupuk mata Nayla. Apa sekarang, ia tidak sedang bersandiwara? Lantas, mengapa sekarang ia menangis seperti ini? Apa jangan-jangan benar bahwa aku dan Nayla pernah bersahabat dulu? Tapi, mengapa aku benar-benar tidak bisa mengingat mengenai perempuan itu?

Aku mengambil lonceng tersebut, kemudian menggoyang-goyangkannya hingga menimbulkan suara. Aku terus melakukan aktivitas tersebut, karena entah kenapa, rasanya begitu tenang kala mendengar suara lonceng tersebut kala dibunyikan.

“Anaknya Papa lagi sibuk apa, nih?”

Aku yang terlalu asyik mendengar suara dari lonceng tersebut, sedikit terkejut kala mendapati papa yang sudah berdiri di sebelah ranjangku. Papa menarik kursi, dan memposisikan untuk duduk dekat denganku.

“Lonceng dari siapa itu? Papa perhatiin kamu terlalu asyik sama lonceng tersebut, hingga gak nyadar bahwa ada papa yang datang.”

Aku menggaruk tengkukku gatal. “Hehe, maaf, Pa. Tadi keenakan dengar bunyi loncengnya, jadi gak nyadar papa datang.”

“Oh, gitu. Tapi, kamu dapat dari mana loncengnya? Kayaknya papa agak familier dengan lonceng ini.”

“Ini dari Nayla, Pa. Dia calon tunangannya Rendy. Tadi dia ke sini.”

Ngomong-ngomong tentang Nayla dan Rendy, aku sudah bercerita kepada papa masalah ini. Sama sepertiku, rasa kecewa begitu menyeliputi perasaan papa. Terlebih, papa sudah lumayan dekat dengan Rendy.

“Nayla? Kenapa dia datang ke sini? Dia gak ganggu kamu, kan?”

Aku tersenyum, kemudian menggeleng. Aku memang juga bercerita kepada papa, bahwa saat itu Nayla datang dengan senyuman sinis, sehingga papa agak was-was terhadap Nayla.

“Enggak, Pa. Dia gak ngapa-ngapain aku, kok. Hanya saja, kedatangan dia membuat pikiranku berkecamuk. Dia bilang, bahwa kami dulunya bersahabat. Dan, gara-gara kecelakaan yang membuat aku amnesia sebagian, papa membawaku pergi dari sana, dan membuat aku benar-benar melupakan Nayla. Apa benar, Pa?”

“Sekarang, papa paham, mengapa rasanya papa familier dengan lonceng tersebut. Iya, Key. Nayla dan kamu dulunya bersahabat baik. Kalian itu lengket banget, sama halnya amplop dan perangko. Namun, karena sebuah kecelakaan yang membuat kamu amnesia sebagian, papa dan mama dengan sangat terpaksa harus memisahkan kamu dengan Nayla waktu itu. Bukan tanpa alasan, papa dan mama ngelakuin hal tersebut karena kondisi psikis Nayla yang pada saat itu drop ketika dia menganggap kamu melupakannya. Oleh karena itu, jalan terbaik ialah kamu dan Nayla harus berpisah.”

Mendengar cerita papa, aku merasa begitu kejam karena sudah menyakiti Nayla. Dulu, aku membuat psikisnya terguncang, dan sekarang, aku juga masih belum bisa mengingatnya. Seandainya aku berada di sisi Nayla pun, aku rasa, aku akan merasa kecewa berat. Kini, pandanganku tentang Nayla seketika berubah. Ia bukanlah perempuan yang jahat, melainkan aku lah yang sesungguhnya orang jahat. Aku sudah melupakannya.

Aku hendak bertanya kepada papa lagi mengenai Nayla, akan tetapi melihat raut wajah papa yang sepertinya sedang tidak baik, aku mengurungkan niatku.

“Pa,” panggilku dengan suara lirih.

“Eh, iya Key. Ada apa, Key? ” Papa kelihatan terkejut saat mendengar suaraku. Sepertinya, tadi papa sedang melamunkan sesuatu.

“Key lihat papa tadi lagi melamun, dan juga wajah papa kelihatannya lagi sedih. Ada masalah apa, Pa? Soal kondisi Key, ya?”  tanyaku pada papa. Papa mendengarku lalu menghembuskan napasnya kasar lalu menggeleng kecil.

“Enggak apa-apa, kok, Key. Everything is okay,” ucap papa sambil mencoba tersenyum. Aku tahu, itu adalah senyuman ‘terpaksa’ dari papa. Sama seperti senyuman yang papa berikan beberapa tahun silam selepas kepergian mama.

“Papa jangan bohong. Kalau ada apa-apa, Key berhak tahu kan? Key udah genap 17  tahun, bahkan dalam hitungan bulan Key akan berusia 18 tahun. Jadi, Key bukan anak kecil lagi yang harus diajak main rahasia-rahasiaan.”

Lagi-lagi papa tersenyum. Dielusnya puncak kepalaku dengan lembut.

“Oke, papa akan kasi tau kamu, tapi janji untuk gak sedih, oke?” pinta papa. Aku hanya mengangguk kecil. Di dalam hati kecilku, sejujurnya aku sudah sedikit gusar.  Tentunya, jawaban papa itu adalah jawaban yang tidak baik.

“Jadi, tadi dokter bilang, kalau kondisi kamu memburuk, dan kamu harus segera melakukan transplantasi sum-sum tulang belakang.”

Ucapan papa barusan benar-benar membuatku down. Setauku, bukan gampang untuk mencari pendonor sum-sum tulang belakang yang sama persis denganku. Jadi, artinya umurku tidak akan lama lagi? Ya Tuhan, aku benar-benar gak kuat.

Aku merasakan pandanganku mengabur, dan semakin menghitam. Aku tak lagi mendengar suara papa yang tengah berbicara. Suara terakhir papa yang bisa aku dengar hanyalah ketika papa berteriak memanggil dokter.

»»----------------¤----------------««

Seorang sahabat sejatinya tidak akan saling melukai, terlebih membenci. Hanya ada satu alasan untuk seorang sahabat membenci, yaitu karena perasaan kecewa yang berlebih.

Kita & Kanker [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang