Orang sepertimu memang sesuatu, Meneer.
Wel, aku tidak pernah berkata jika aku orang yang normal, Inlander...
***
"Dengan segala hormat, Meneer, sebenarnya kemanakah anda hendak pergi?" tanyaku yang kesekian kalinya kepada Meneer yang berjarak seribu langkah di depanku. Saat ini kami masih melarikan diri dari sepasukan kompeni yang sedang mencari Meneer.
Kompeni gila! Dia ingin membunuhku? Akh! Aduh, perutku sakit.
"Vergeef me (maafkan saya), Meneer, saya sudah tidak dapat berlari lagi. Perut saya-hah, hah, sakit sekali," jawabku yang sudah ngos-ngosan karena diajak berlari oleh Meneer.
"Cepat Inlander, mereka tidak boleh melihatku disini, apalagi kau. Mau dibunuh oleh mereka?" jawab Meneer, setengah mengancam.
"Maaf-hah, hah,hah, Meneer, sudah ada perjanjian bahwa tidak akan ada pertumpahan darah di kabupaten tempat Ramaku berada. Bahkan handtekening (tanda tangan) Meneer juga ada di situ!"
"Inlander yang bodoh dan ceroboh, kita sudah melewati perbatasan kabupaten! Sekarang kita berada di Boschterten. Kau tahu kan betapa lemah dan bodohnya bupati tambun itu!" jawab Meneer sembari melangkah ke arahku dengan sangat terpaksa.
Hah? Meneer telah membuatku berlari sejauh ini?! Benar-benar tidak bisa dipercaya.
"Sekarang berhenti mengeluh dan ayo cepat!"
"Ta-tapi Meneer-akh, saya sudah tidak dapat berlari lagi, perut saya sakit sekali. Sepertinya karena makan siang tadi," jawabku jujur akan keadaanku saat ini.
"Dasar Inlander merepotkan," ujar Meneer lalu bergerak ke arahku untuk melakukan sesuatu yang tidak akan pernah kuduga sebelumnya. Meneer menggendongku!
Seperti karung goni. Ha...
"Meneer, saya mohon turunkan saya! Saya mudah mual jika berada pada posisi ini!"
"Diam saja kau! Jika kuturunkan kau akan mati! Pekerjaku tidak boleh ada yang mati!"
Dan... aku pasrah sembari menahan mual selama perjalanan selanjutnya.
Pelarian kami akhirnya sampai pada tengah hutan bambu dimana sepasukan kompeni itu tidak berhasil mengikuti aku dan Meneer. Dasar kompeni-kompeni penakut! Mereka tidak berani masuk hutan bambu! Haha!
Tapi, ugh, perutku bergejolak...
"Meneer, saya ingin muntah..."
"Jangan!!!"
"Vergeef me, Meneer...hueeeekkk!!!"
***
"Sudah bersih?" tanya Meneer yang berulang kali memeriksa hasil pekerjaanku mencuci overhemd (kemeja) nya yang terkena "makan siangku" di sungai terdekat.
"Uh, sebentar lagi Meneer, silakan duduk dahulu," jawabku sesopan mungkin kepada Meneer untuk duduk di atas daun pisang yang telah kusiapkan sebelumnya.
Meneer hanya menghela nafas frustasi lalu duduk di atas daun pisang tersebut. Sepatunya ia lepas dan taruh di atas batu setelah sebelumnya kucuci dengan bersih. Untung saja aku hanya mengenai kemeja dan sepatunya. Jika tidak kan gawat, keadaan Meneer yang sekarang saja sudah berbahaya untuk kedua mataku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nindita
Historical FictionSeorang putri bupati yang tiba-tiba dijual kepada kompeni oleh ayahnya sendiri. "Hei Inlander! Vadermu telah membuangmu! Sekarang kau milikku!" Aku, Nindita Gayatri Candraningtyas, seorang putri bupati, dan seorang baboe. (Short chaptered)