1.3K 121 10
                                    

A/N : 1k??!!!! 😭😭😭 makasih banget semuanya!!!!

Happy reading!

***

Matahari sudah mulai condong ke barat saat kami kembali ke rumah meneer. Sepanjang perjalanan baik aku maupun meneer tidak berbicara satu sama lain. Kami masih berselisih pendapat karena masalah tadi.

.

.

.

"Berani-beraninya kau mempermalukanku di hadapan tamuku dan bawahan-bawahanku!!!"
Bentak meneer dengan wajah memerah setibaku di ruangannya. Dia benar-benar sangat marah.

"Ap-apa maksud meneer?" tanyaku pelan, tidak ingin membuat suasana hatinya memburuk.

"Inlander bodoh! Jangan menjawabku!!" Lalu disusul dengan satu gebrakan di meja yang membuat kepalaku tertunduk.

Kenapa meneer seperti ini? Apa gara-gara noni tadi bersikap baik kepadaku?

"Berlaku seenaknya di hadapan tamuku dan bawahanku! Jangan pernah berpikir inlander sepertimu dapat diperlakukan setara dengan kami!"

Kukerutkan dahiku tanda tak mengerti.

"Nona tadi adalah putri kolegaku! Kau seharusnya melayaninya, bukan berbicara dengannya!! Jika lain kali sikapmu belum berubah, jangan harap dapat bebas dari hukuman!!"

***

Hei...
Jika dipikirkan kembali, sebenarnya aku tidak salah apa-apa!

Noni itu memang sangat sopan dan ramah. Ia yang ingin berbicara denganku! Seharusnya meneer tidak memarahiku seperti tadi! Atau... seharusnya meneer tidak usah memintaku ke markasnya sekalian!

"Pardon, meneer, kita sudah sampai." suara Pak Joko menyadarkanku dari lamunan. Dengan segera aku melangkah turun dan menahan pintu untuk meneer keluar.

Meneer keluar tanpa berbicara apa-apa lagi.

.

.

.

"Hehe, bagaimana markas kompeni, Non?" tanya Bu Sumiyati sembari menyiapkan makan malam.

"Ah, Ibu, panggil aku Dita saja, aku bukan nona-nya ibu..." kataku dengan wajah merengut. Pekerja-pekerja disini terkadang masih saja salah memanggilku nona, karena status ayahku.

Aku hanya tidak nyaman dan takut saja jika sampai terdengar meneer dan disangka yang tidak-tidak, tambah salah nanti aku di mata meneer.

"Ah, menyebalkan Bu! Saya menyesal ikut meneer ke markas hari ini, jika akhirnya dimarahi juga!"

"Lho, kenapa dimarahi?" Alis Bu Sumiyati terangkat sedikit. Ia berpikir tak biasanya meneernya itu marah-marah, apalagi dengan para pekerjanya.

Lalu kuceritakan semuanya, dari awal sampai markas, meneer yang kedatangan tamu, aku yang terus diolok-olok, dan perkenalanku dengan Henrick.

"Ah, bocah indo itu," kata Bu Sumiyati setelah aku selesai bercerita.

"Ibu mengenalnya?"

Ia mengangguk, "Ya, meneer hampir mengangkatnya menjadi anaknya, tetapi mevrouw tidak setuju. Katanya mereka lebih pantas menjadi kakak adik daripada bapak anak. Lagipula meneer masih dibawah umur saat itu jika ingin menjadi bapak angkat seseorang."

NinditaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang