"Panggil aku Meneer mulai dari sekarang." Kata algemeen, atau lebih tepatnya meneer, mengingat aku telah menjadi budak seorang kompeni menjijikkan ini.
"Baik, Meneer." jawabku singkat. Aku tidak tahu apa yang kurasakan sekarang. Benci? Merasa dikhianati? Jujur hatiku sakit sekali saat ini, tetapi air mataku tak kunjung keluar. Bapakku yang selama ini kuhormati, membuangku?
Kami sedang berkeliling di rumah mewah keluarga meneer, atau keluarga Van Diemen. Ternyata, aku akan dipekerjakan sebagai baboe yang menjaga dan mengurus keponakan semata wayang meneer. Selama berkeliling meneer menjelaskan tentang segala isi rumah ini, yang ternyata memiliki tiga lantai. Dia juga mengenalkanku pada pribumi-pribumi lainnya, yang bekerja kepada meneer. Mereka sangat terkejut melihatku, karena mereka mengenalku sebagai putri Bupati Atmaja. Banyak dari mereka yang sepertinya ingin menanyaiku, tetapi meneer akan mengizinkan kami berbicara setelah mengenalkanku pada kakaknya dan keponakannya.
"Inlander! Ini keponakanku yang harus kau jaga." Kata meneer sembari mengenalkanku pada Hans, anak dari Mevrouw Kathelijn , kakak kandung meneer. Ia memiliki warna mata dan bibir yang mirip dengan meneer, sementara rambutnya menurun dari vadernya. Vader Hans adalah orang Duitsland, begitu kata mevrouw. Ia telah meninggal lima tahun yang lalu karena gugur dalam tugas. Ia juga seorang tentara berpangkat seperti meneer. Berbeda dengan meneer yang kasar dan suka memerintah, mevrouw adalah wanita yang lembut dan ramah. Dia mahir berbicara dalam bahasa kami. Dia memperlakukanku dengan baik, dan bahkan memanggilku Dita, walaupun aku takut jika terdengar oleh meneer.
Hans... ia mengingatkanku pada Dimas karena mereka sebaya. Usia kami terpaut sepuluh tahun. Bagaimana kabar Dimas ya? Aku masih berjanji akan bermain dengannya. Janji yang bahkan tidak bisa kutepati sendiri.
Rombonganku sudah kembali ke rumah bapak dengan membawa berita bahwa aku akan baik-baik saja, bahwa meneer akan menjagaku dengan baik, yang tentu saja bohong, mengingat ia bersikap kasar terhadapku. Dan bapak... tidak ada kata yang tepat untuk membicarakan isi hatiku tentangnya.
***
"Mbak...mbak Dita kan? Putri Bupati Atmaja?" kata seorang pekerja diantara sahutan banyak orang di ruang dapur meneer yang luas itu. Di depanku berjejer para pekerja yang penasaran akan kehadiranku disini. Kebanyakan dari mereka adalah wanita sebagai pembantu rumah tangga dan juru masak, sedangkan para pria dipekerjakan sebagai jongos, opas, dan tukang kebun.
"Benar, saya putri dari Raden Tumenggung Atmajadiningrat." Mereka semua terkejut dan mulai berbisik-bisik satu sama lain. "Tapi, apa yang Mbak lakukan disini?" tanya seorang wanita paruh baya yang belakangan kuketahui bernama Bu Sumiyati.
Air mataku mengalir seketika. Setetes, dua tetes, menjadi isakan, dan akhirnya aku menangis sejadi-jadinya di hadapan mereka semua. Sungguh ironis, aku hanya bisa menunjukkannya di depan kaumku. Setelah agak reda, aku mulai bercerita kepada mereka tentang bagaimana aku bisa sampai disini, termasuk tentang bapakku yang membuangku. Para pekerja itu menatapku prihatin.
"Aku yakin bupati berada di bawah tekanan, Mbak. Ia tidak akan rela membuang putrinya tanpa alasan yang jelas." kata Bu Sumiyati.
"Ya, Bupati Atmaja adalah seseorang yang hebat. Dia pasti sudah memikirkan hal ini masak-masak." timpal yang lain.
"Dan sepertinya aku tahu alasannya," kata seseorang di paling belakang. Pekerja-pekerja itu mendengus dan mencemooh anak itu. Tetapi mereka tetap membuka jalan agar aku bisa melihat orang yang berbicara itu. Seorang laki-laki kecil, mungkin beberapa tahun lebih tua dari Dimas dan Hans, melangkah dengan mantap ke arahku.
"Namaku Janu, Mbak. Aku adalah tukang kebun termuda disini. Kadang-kadang aku mendengar apa yang dibicarakan meneer dan bawahannya ketika mereka sedang jalan-jalan di kebun."
"Tiga hari yang lalu aku mendengar meneer berkata akan menguasai kabupaten ini. Bukan dengan perang, karena tentara rakyat kita sangat kuat. Mereka berencana akan melemahkan kepercayaan rakyat terhadap Bupati Atmaja, dan membunuhnya setelah itu. Pagi kemarin, salah satu kaum kita dibunuh oleh seorang tentara suruhan meneer. Hal itu cukup membuat rakyat meragukan bupati karena beliau telah berkata akan menjamin keselamatan kita." Janu menjelaskannya panjang lebar.
"Ah! Setauku telah dibuat perjanjian antara bupati dan kompeni bahwa tidak ada pertumpahan darah yang akan terjadi di kabupaten ini!" kata seorang pekerja, yang diikuti oleh gumaman persetujuan dari pekerja lainnya. Ya, itu benar. Telah dibuat perjanjian seperti itu.
Janu tidak menggubris omongan mereka, "Jadi meneer berencana untuk membuat perjanjian dengan bupati untuk menyerahkan putrinya—yaitu Mbak—sebagai jaminan atas keselamatan rakyat." Ia menarik napas, "Aku juga mendengar bahwa meneer berusaha membunuh kita semua jika bupati tidak menyetujui perjanjian itu."
Aku benar-benar terkejut, "Jadi, bapakku membuangku demi keselamatan kita semua?" Aku membencimu, Meneer Van Diemen! Sekarang aku bahkan tidak bisa bertingkah macam-macam atau kami semua akan terbunuh!
Semuanya kembali berbisik-bisik dan bicara bersahutan. Akupun mendiamkan mereka, "Tetapi, katamu meneer berbicara pada bawahannya bukan? Bagaimana kau memahami apa yang mereka katakan?"
Ia tersenyum simpul, "Mevrouw yang mengajariku. Ia ramah terhadap kita semua, tidak seperti meneer yang sangat menakutkan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nindita
Historical FictionSeorang putri bupati yang tiba-tiba dijual kepada kompeni oleh ayahnya sendiri. "Hei Inlander! Vadermu telah membuangmu! Sekarang kau milikku!" Aku, Nindita Gayatri Candraningtyas, seorang putri bupati, dan seorang baboe. (Short chaptered)