Hola gais!!! Bangga aku tuh bisa update dua kali dalam waktu yang berdekatan :") doain aja ya semoga bisa kayak gini terus... makanya semangat buat komen sama kasih bintang dong, nanti aku bakal update cepet deh ehe (bercanda ges :))
Makasih buat teman-teman yang udah komen di chapter lalu. Sumpah itu bikin aku semangat buat ngelanjutin book ini lho! Tetap komen yah!
Yaudah yuk cus aja, happy reading!
***
Warna kesukaanku adalah biru, tepatnya sebiru langit cerah. Sewaktu ibu masih hidup, beliau sering mengajakku berkeliling desa dan bertemu dengan para penduduk. Mereka selalu terlihat senang jika ibu datang dan memberikan sebungkus beras maupun sebuah kantong berukuran kecil yang bergemerincing jika tak sengaja terantuk dengan kantong lainnya.
Setelah menerima barang pemberian ibu, mereka pasti mengalihkan atensi kepadaku kemudian mengusap-usap kepalaku dengan sayang sembari mendoakan kesehatan dan keselamatan keluarga kami. Tinggi badanku yang tak lebih dari perut ibu saat itu membuatku harus menengadahkan kepala untuk dapat balas menatap. Wajah-wajah dan tangan-tangan yang kulihat berbeda-beda setiap kalinya, namun semuanya memiliki satu kesamaan, yaitu adanya senyuman di bibir mereka. Aku tak pernah memperhatikan senyum yang mereka berikan padaku satu demi satu, karena ada hal lain yang lebih menarik bagiku untuk diperhatikan. Warnanya biru dan indah sekali.
"Itu langit," jawab Ibu ketika aku bertanya padanya suatu hari. Saat itu kami berdua sedang menikmati semilir angin di pinggir pantai setelah berkeliling untuk kembali membagikan beras dan gulden kepada para penduduk.
"Apakah warnanya selalu biru?" tanyaku kembali karena penasaran
Ibu hanya tersenyum, "Itu semua bergantung pada suasana hatinya. Warnanya dapat berubah menjadi kelabu saat sedih, atau jingga saat lelah. Terkadang warnanya juga menjadi hitam saat sedang beristirahat."
"Apa yang ia rasakan saat berwarna biru?"
Ibu mengusap kepalaku dengan sayang, "Ia bahagia, sayang. Ia bahagia melihat kita dapat membantu orang-orang untuk dapat hidup lebih baik. Ia bahagia melihat anak-anak dapat bermain dengan bebas. Ia bahagia melihatmu."
Aku mengernyitkan dahi, "Kenapa begitu, Ibu?"
Ibu mencium puncak kepalaku agak lama, lalu memandangku hangat, "Karena Dita adalah kebahagiaan Ibu, dan langit selalu bahagia melihat orang-orang di bawah naungannya bahagia."
"Kalau begitu, langit juga bahagia ketika melihat Ibu, karena Ibu adalah kebahagiaan Dita!" ucapku lalu menerjang ke arahnya dan memeluknya.
***
Tentu saja tidak semua yang ibu katakan benar. Langit berganti warna bergantung pada keberadaan matahari dan awan. Aku tahu semua yang Ibu katakan hanya cerita belaka ketika ia meninggal. Hampir seluruh penduduk berkumpul di depan rumahku dan menangis sebagai bentuk bela sungkawa. Namun, pada saat itu langit tetap berwarna biru dan matahari bersinar dengan cerahnya. Sempat ingin ku teriakkan kekesalanku pada langit, hingga seorang anak laki-laki yang terlihat lebih tua beberapa tahun dariku entah darimana berdiri disampingku dan bertanya,
"Kau kesal?"
Aku menatapnya dengan sengit, "Tentu saja aku kesal! Ibuku meninggal hari ini!"
Dahinya mengernyit karena bingung, "Ibumu meninggal dan kau kesal?"
Emosiku tertahan karena perkataannya. Tak lama kemudian, aku mulai menangis tersedu-sedu, "A-aku sedih ibu-ku meninggal. A-aku kesal pa-da langit ka-rena tetap ba-hagia sa-saat ibuku mening-gal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nindita
HistoryczneSeorang putri bupati yang tiba-tiba dijual kepada kompeni oleh ayahnya sendiri. "Hei Inlander! Vadermu telah membuangmu! Sekarang kau milikku!" Aku, Nindita Gayatri Candraningtyas, seorang putri bupati, dan seorang baboe. (Short chaptered)