A/N : WARNING!!! bahasa kasar dan ada umpatan (pakai bahasa Belanda sih, tapi... well, tetep aja umpatan kan? :))
***
Keesokan harinya aku mulai bekerja sebagai baboe untuk Hans. Tugasku sangat mudah, yaitu menjaga Hans sepanjang hari. Kadang-kadang mevrouw juga ikut menemaniku menjaga Hans, sementara meneer selalu pergi ke markas pada pagi hari dan pulang pada sore harinya.
"Dita, tolong bantu aku menggendong Hans," pinta mevrouw dengan halus. Akupun mematuhinya. Kudekap Hans dengan sangat hati-hati karena ia sedang tidur.
Mevrouw mengambil buku catatan kecil bersampul kulit dari laci ruang keluarga, lalu memberikannya padaku. Aku menatap buku itu dengan bingung. Melihatku yang bertanya-tanya, ia tersenyum dan berkata, "Aku ingin kau belajar. Buku ini berisi catatan-catatan kecil bahasa kami, beserta artinya dalam bahasamu. Aku diam-diam mencatat setiap kata dan kalimat yang kalian ucapkan, lalu mencari artinya dalam bahasa kami."
Aku terkejut mendengar perkataannya. Hanya mevrouw yang mengizinkanku untuk belajar, bahkan bapakku sendiri tidak pernah menyekolahkanku. Perlahan-lahan air mataku menetes karena terharu. "Me-mevrouw..."
Ia menghapus air mata dari wajahku dan berkata, "Jangan menangis, Dita. Aku percaya kaummu itu pintar. Kami saja yang membodohi kalian. Aku ingin kau menjadi pintar agar bisa berjuang untuk kaummu. Sebenarnya alasanku menetap dengan adikku disini adalah karena aku ingin mengenal dan mempelajari budaya kalian, karena kalian memiliki negeri yang sangat indah."
"Aku tidak akan mengecewakanmu, Mevrouw." ucapku dengan mantap. Kuletakkan Hans yang tidur dengan sangat pulas di sofa panjang lalu menerima buku itu. Aku bertekad akan belajar dengan sungguh-sungguh.
"Sebaiknya jangan beritahu adikku soal buku itu saat ini. Beritahu dia jika saatnya sudah tepat." Katanya lagi dengan nada misterius. "Apa maksudnya, Mevrouw?"
"Pokoknya beritahu dia jika dia sudah memperlakukanmu sebagai manusia, bukan budak. Aku benar-benar membenci sikap sombong dan arogannya itu. Dia, dan kaum kami tidak berhak untuk memerintah kalian. Kalian punya hak untuk merdeka, itulah yang kupikirkan. Sayangnya, aku tidak bisa serta merta berkata kepada adikku atau siapapun dari kaum kami, atau aku bisa dianggap pengkhianat."
"Dan aku percaya padamu, Dita."
***
Minggu-minggu selanjutnya kuhabiskan waktuku dengan mempelajari buku itu sembari mengasuh Hans. Jika ada waktu luang, aku membantu Bu Sumiyati, sang koki. Para pekerja memperlakukanku seperti nona rumah karena merasa bersalah. Terkadang aku merasa tidak enak. Tidak apa jika aku yang dikorbankan demi keselamatan semuanya. Aku bahkan sudah tidak terlalu marah kepada bapak, tetapi aku masih membenci meneer.
Mevrouw memang orang yang sangat baik. Kadang-kadang aku diajak ke pasar untuk membeli makanan-makanan kaum kami, dan yang membuatku segan terhadapnya adalah karena dia bersikap sopan terhadap kaum kami. Benar-benar wanita yang hebat.
Sejujurnya, hidup sebagai salah satu pekerja meneer tidak terlalu buruk. Kami tetap diperbolehkan keluar sesekali untuk belanja di pasar dan melihat-lihat pertunjukan rakyat. Aku dan Bu Sumiyati bahkan mengikuti sanggar tari rakyat dan akan pentas dalam beberapa pekan kedepan.
Oh, iya. Para pekerja memiliki ikatan persaudaraan yang kuat, kecuali satu orang, Janu. Belakangan ini aku menyadari bahwa Janu selalu sendirian. Tidak ada pekerja yang mau bergaul dengannya. Terkadang karena merasa kasihan, aku berusaha untuk berbicara dengannya. Tetapi selalu saja ada pekerja yang mengajakku pergi meninggalkannya.
.
.
.
Aku sedang bermain bersama Hans di ruang keluarga saat ini. "M-mbak Dita," panggil Hans. Sekarang ia bisa berbicara beberapa kata yang kuajarkan padanya. "Ya, Hans?"
"Aku lapar." Ia menepuk-nepuk perutnya. Lucu sekali! Aku jadi gemas melihatnya. "Ayo Hans, mau makan disini atau di ruang makan?"
"Di meja makan saja, Mbak. Sekarang Hans sudah besar." jawabnya sambil membusungkan dadanya.
Aku tertawa kecil, "Baiklah Hans."
Aku sedang menyuapi Hans ketika tiba-tiba meneer datang dan bergabung bersama kami. Aku membungkuk sebagai tanda hormat.
"Dimana Kathelijn?" tanyanya tanpa melihatku.
"Mevrouw sedang mandi, meneer. Pagi ini adalah hari pertama Hans masuk sekolah, dan kami berdua akan mengantarnya." jawabku.
Dia menatapku sejenak sebelum berbicara kembali, "Biar Katelijn saja yang mengantar Hans. Kau ikut denganku ke markas hari ini, inlander." katanya kemudian.
Kenapa lagi ini? "Baik, Meneer."
Setelah berpamitan kepada mevrouw, aku pergi bersama meneer.
Meneer mengizinkanku jalan-jalan mengelilingi markas, jadi dengan senang hati aku meninggalkannya sendirian untuk bekerja. Lagipula aku tidak ingin mengganggunya.
Hampir sama seperti di saat kami mengantar upeti, kompeni-kompeni ini mengejekku, berbisik-bisik satu sama lain, dan memberiku tatapan mencemooh. Mereka meludah saat aku lewat, bahkan seorang kompeni yang bersimpangan denganku sengaja mendorongku dengan bahunya sampai aku jatuh tersungkur. Gemuruh tawa langsung terdengar tak lama kemudian.
"Dom Inlander! Dom Inlander!" kompeni-kompeni itu meneriakiku secara bersahut-sahutan. Karena tak tahan dengan perlakuan mereka, akupun segera bangkit dan berlari menjauh.
***
Aku berlari tak tentu arah, sampai akhirnya kuputuskan untuk berhenti di koridor sempit yang jarang dilewati untuk menarik napas dan menenangkan pikiran.
Arrrrrggghhhh!!! aku marah pada diriku sendiri karena tidak berani membalas perkataan mereka. Jika saja aku tak ingat akan perjanjian bodoh itu, sudah kupastikan hidung mancung kompeni-kompeni berubah jadi lebih jelek dari belahan jambu air!
Karena sibuk mengumpati kompeni-kompeni itu satu per satu, aku tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengamatiku dari jauh.
"Inlander!" kudengar suara meneer dari kejauhan. Oh tidak!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nindita
Historical FictionSeorang putri bupati yang tiba-tiba dijual kepada kompeni oleh ayahnya sendiri. "Hei Inlander! Vadermu telah membuangmu! Sekarang kau milikku!" Aku, Nindita Gayatri Candraningtyas, seorang putri bupati, dan seorang baboe. (Short chaptered)