1.2K 137 11
                                    

"Inlander!" Meneer memanggilku dari kejauhan.

"Ada apa Meneer?" tanyaku takut-takut kalau meneer akan memberiku hukuman karena mengumpati prajurit-prajuritnya.

"Tolong bawakan aku dan nona ini makanan ke ruanganku," perintahnya singkat lalu mengajak pergi seorang noni yang baru kusadari keberadaannya.

"Ah, tidak usah repot-repot, Algemeen. Aku hanya singgah sebentar," kata noni yang ada di sebelah meneer itu sembari menahan tangannya untuk tidak pergi.

"Tidak masalah, sudah sepantasnya aku melayanimu, nona. Cepat Inlander! " katanya dengan sedikit membentakku.

" Als uw verzoek (seperti yang anda inginkan), Meneer. Tetapi makanan seperti apa yang meneer kehendaki?" tanyaku dengan sesopan mungkin, padahal dalam hati aku ingin meninju rahangnya keras-keras.

"Apa yang kau inginkan, nona?" tanya meneer halus kepada noni itu.

"Aku ingin makanan negeri ini, Algemeen. Kudengar negeri ini memiliki banyak makanan lezat," jawabnya dengan nada yang lembut.

Kata-kata itu seperti duri yang menusuk hatiku. Benar, negeri kami memiliki banyak makanan yang lezat. Tetapi kami tidak bisa menikmati makanan itu. Beberapa pribumi yang bekerja dibawah pemerintahan kompeni memang "cukup" beruntung dapat menikmatinya.

Namun rakyat kami yang kurang mampu mana sanggup untuk sekedar mencicipi makanan itu. Hasil panen yang semestinya kami nikmati, malah harus diserahkan pada mereka. Rempah-rempah, bumbu, bahkan sekarang tebu, beras, dan kapas pun harus kami serahkan. Jika begini, kami harus makan apa?

"Makanan apa yang kemarin kucoba ya? Ah! nasi goreng! Bisakah kau membawanya untuk kami?" tanya noni itu kepadaku.

"Tidak perlu terlalu sopan kepadanya, nona, ia hanya inlander rendah," kata meneer sembari menatap tajam kearahku.

Kompeni sialan!

"Baiklah, nasi goreng akan saya ambilkan. Apakah ada hal lain yang meneer dan nona inginkan? Bagaimana dengan makanan penutup?" tanyaku berusaha ramah.

"Sepertinya sepiring poffertjes cocok dipadukan untuk penutup. Bagaimana menurutmu, Algemeen?" tanya noni itu lagi.

"Boleh juga. Kalau begitu bawakan nasi goreng dan pofferjes untuk kami. Cepat!" perintah meneer dengan penuh penekanan.

"Baik, meneer. Akan segera diantar," tanpa basa basi lagi aku segera pergi menuju dapur markas. Dalam perjalanannya aku kembali mendapat cemoohan dari prajurit-prajurit bodoh itu, namun aku tidak menghiraukannya. Tidak ada gunanya melayani mereka, dan aku akan semakin dimarahi meneer jika terlalu lama mengantar makanan, dan itupun jika aku cukup beruntung "hanya" dimarahi, tidak lebih.

.

.

.

"Excuseer," aku melongok dari pintu. "Aku diperintahkan meneer untuk mengantar makan siang ke ruangannya."

Seorang pria berumur enampuluh tahunan muncul dari dalam ruangan dengan murka, salah satu tangannya memegang alat yang biasanya Bu Sumiyati gunakan untuk memasak. Apa ya namanya? Spatel?

"Dasar inlander tidak tahu diri! Orang sepertimu tidak boleh masuk! Mengotori dapurku saja!" selagi menyahut wajahnya berubah menjadi semerah tomat.

"Hei Gregor, temanku! Kenapa marah-marah, eh?" seorang kompeni muda tiba-tiba datang dari belakangku.

"Korporaal, inlander ini ingin menerobos masuk ke dapur," katanya sembari mengacung-acungkan spatelnya seperti hendak memukulku.

Kompeni itu berbalik menghadapku, "Benarkah itu, inlander?"

Aku yang tidak terima difitnah akhirnya angkat suara, "Tentu saja tidak Korporaal, aku hanya menyampaikan padanya jika meneer dan tamunya ingin dibuatkan nasi goreng dan poffertjes untuk makan siang."

Dahi kompeni itu sedikit mengerut, "Meneer? Oh, apa maksudmu algemeen? Apa kau baboe barunya? Putri bupati itu?"

"Ja."

"Nah, kau sudah dengar kan, Gregor? Inlander ini hanya diminta mengantar makanan oleh algemeen."

Pria yang dipanggil Gregor itu mendengus, "Baiklah, tunggu sebentar," lalu masuk ke dalam dapur.

"Hebat, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu. Jadi, bagaimana kehidupan baboe, ehm? Apa kau menikmatinya?" tanya korporaal ini dengan nada jenaka.

Kubuang nafas dengan kasar, "Aku sudah lelah mendengar cemoohan hari ini. Jika kau hanya ingin mengataiku, lebih baik lakukan itu lain waktu."

"Kasar sekali... untung saja aku bukan meneermu itu. Jika iya, entah apa yang akan terjadi?" balasnya dengan satu kedipan mata yang diarahkan padaku.

"Memang karena kau bukan meneer, aku berani padamu."

"Astaga inlander ini. Tapi tak masalah, selama ini inlander lain selalu takut-takut jika berbicara denganku, padahal sejujurnya aku ingin dekat dengan mereka, mempelajari mereka. Entahlah, inlander memang unik."

Aku mulai jengah dengan kata inlander, "Berhenti memanggilku inlander. Aku punya nama."

Korporaal itu mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Oh ya?" bisiknya.

"Menurutmu mengapa aku harus tahu?" dapat kurasakan dia menyeringai. Dengan tangan kudorong tubuhnya menjauh.

"Kau hanya inlander~! Inlander~!" dia berbicara dengan suara yang dibuat-buat sembari pergi menjauh.

"Pesanan algemeen sudah jadi. Cepat pergi dari sini!" tiba-tiba pria tadi datang dengan senampan penuh nasi goreng, poffertjes, dan sebotol minuman yang kupikir biasanya diminum kompeni-kompeni saat pesta. Aku tahu karena bapakku pernah mengundang kompeni untuk makan malam.

"Dank u," ucapku padanya, lalu cepat-cepat membawa makanan itu pada algemeen sebelum terjadi perang di markas ini.

***

A/N : Waaa author nggak nyangka cerita kayak gini ada yang baca juga, bahkan ada yang ngasih vote dan nambahin ke daftar bacaan juga, ada yang follow author jugaa :"))

Makasih banget yaaa :D Untuk kedepannya author janji bakal improve tulisan author ❤

NB : maaf lama up chapter baru, author kelas 12 soalnya :( jadi ya gitu deh, banyak tugas dll. Tapi author bakal bagi waktu buat nulis cerita ini. Pokoknya cerita ini harus sampai end!






NinditaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang