A/N : Maaf author udah 3 minggu nggak up chapter 😢
Oh iya Dirgahayu ke-73 Indonesia!! Semoga senantiasa merdeka!! 😄
Happy reading semuanya 😊NB : banyak kata-kata kasar,
be careful...-----------------------------------------------------------
"Tok! Tok! Tok!"
"Binnenkomen!" sahut meneer dari dalam ruangan.
"Oh, inlander. Kenapa lama sekali? Kasihan nona ini sudah terlalu lama menunggu," tanya meneer ketika aku mulai menata makanan ke atas meja.
"Maaf meneer, tadi ada sedikit masalah di dapur, namun semuanya sudah teratasi," aku menunduk dengan sopan di hadapan meneer dan tamunya itu.
"Ah, tidak apa-apa algemeen, aku belum terlalu lapar," kata nona itu berusaha membuatku tidak jatuh dalam masalah.
"Kau boleh keluar sekarang."
"Baik meneer-"
Kruyuuuukkkk...Perut karet sialan.
"Apakah kau lapar?" noni bertanya padaku dengan lembut.
"Ah, tidak nona, aku ti-"
"Bohong. Kau pasti lapar. Ini, ambil saja poffertjesku. Kurasa perutku tidak akan muat lagi untuk makanan penutup," katanya sambil menyodorkan sepiring poffertjes yang masih mengepulkan uap.
"Terimakasih atas kemurahan hatimu, nona. Tapi aku tidak bisa menerimanya."
Tentu saja aku menolaknya, jika tidak, entah apa yang akan meneer lakukan kepadaku nanti karena dianggap bersikap "tidak sopan" terhadap tamunya."Biarkan saja, nona. Dia bilang dia tidak lapar."
"Tapi algemeen, kurasa gadis ini belum ma-"
"AKU TIDAK PEDULI INLANDER INI KELAPARAN ATAU TIDAK!" meneer tiba-tiba berteriak, membuatku dan noni itu terlonjak karena kaget.
"Semua inlander sama! Minta makan, makan, dan makan! Kerja saja mereka tidak becus!" kata meneer dengan wajah memerah, pertanda sedang sangat marah.
Aku mengepalkan tanganku. Tentu saja karena kalian membodohi kami, kompeni brengsek!
Aku mencoba menahan diriku untuk tidak menghabisi meneer saat ini juga.
"Kalau begitu saya permisi dulu..."
Tanganku sudah teramat gatal untuk meninju rahangnya, namun aku tidak ingin mencari masalah saat ini, terutama karena tempat ini adalah markas kompeni. Aku masih ingin hidup...
Wajah meneer semakin memerah, seperti kesal karena diremehkan dan ketidakpercayaan atas sikapku yang sedikit kelewat batas baginya.
"Segera kembali ke ruanganku setelah aku selesai dengan nona ini, inlander!" ancam meneer.
Uh, oh. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini...
***
Aku menunggu tepat di depan pintu ruangan meneer. Selama itu banyak kompeni-kompeni yang berseliweran. Sudah bisa diduga, aku kembali diolok-olok.
"Sendirian saja?"
Kutolehkan kepala ke asal suara yang familier itu. Oh, korporaal tadi...
"Apa kau lapar? Kebetulan aku sedang tidak ada pekerjaan. Mau makan bersamaku?" tanyanya dengan senyum miring yang tak lepas dari wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nindita
Historical FictionSeorang putri bupati yang tiba-tiba dijual kepada kompeni oleh ayahnya sendiri. "Hei Inlander! Vadermu telah membuangmu! Sekarang kau milikku!" Aku, Nindita Gayatri Candraningtyas, seorang putri bupati, dan seorang baboe. (Short chaptered)