"Bangun Nona, saatnya mengantar upeti untuk kompeni itu," suara Mbak Ndari yang lembut menyadarkanku dari alam mimpi yang indah. Aku menggeliat, merasa malas untuk meninggalkan keindahan itu.
"Darimana Mbak Ndari tahu aku harus mengantar upeti?"
Mbak Ndari tertawa kecil, "Nona kemarin bercerita banyak tentang itu kepada Ndari. Mungkin saat itu nona terlalu kesal sehingga lupa, tapi Ndari tidak akan bicara kepada siapa-siapa."
Aku tersenyum. Jika ada orang yang sangat setia, itu pastilah Ndari.
Beberapa saat kemudian aku selesai bersiap-siap. Sebelum berangkat aku ingin pamit kepada bapakku, tetapi kemanapun aku mencari tak kutemukan keberadaannya.
"Mbak Dita!!!" kutolehkan kepalaku ke arah suara yang memanggilku. Dimas berlari kecil dengan kelincahan anak-anaknya. "Mbak Dita mau kemana? Dimas boleh ikut?" tanyanya polos.
"Mbak Dita mau pergi sebentar ya Dimas. Maaf, Dimas tidak boleh ikut. Tapi nanti setelah Mbak Dita pulang, kita main petak umpet, yuk," ajakku kepadanya.
Dimas terlihat kecewa, tetapi ia tetap tersenyum, "Baik Mbak, pulang cepat ya!!!"
"Sudah siap, Non?" pelayan keluarga kami, Pak Giyanto sudah memanggilku di depan pintu.
"Sampaikan pamitku pada bapak ya Dimas," kataku lalu mengecup dahinya. Ia mengangguk lalu melambaikan tangannya kepadaku.
"Klutak-klutuk..." suara kaki kuda dan putaran roda mengisi kesunyian selama perjalanan. Letak markas algemeen sangat jauh dari rumah. Rombongan kami melewati hutan yang lebat dan sunyi. Daun-daun pohon yang lebar melindungi kami dari teriknya sinar matahari, membuat perjalanan kami menjadi lebih singkat karena tidak sering istirahat. Ketika matahari hampir tepat berada di atas kami, akhirnya terlihat pagar yang diselimuti oleh kawat duri. Kami sampai di markas kompeni.
"Ophouden!" kompeni yang berjaga di pagar berseru menghentikan kami. Akupun turun dari kereta. "Kami membawa upeti untuk algemeen."
Kompeni itu pergi dan melaporkan kedatangan kami. Tak lama kemudian ia mengisyaratkan kami untuk masuk. Setelah mengucapkan salam, rombongan kamipun memasuki area markas. Keadaan di area markas benar-benar berantakan. Para kompeni itu bermain judi, minum bir, atau sekedar berbicara dengan kata-kata yang sama sekali tidak kumengerti. Saat kami lewat, mereka menoleh kepada kami dan mulai berbisik-bisik. Sesekali aku mendengar mereka menyebut-nyebut kata inlander dan menatap sinis ke arah kami. Karena merasa tak nyaman, kamipun mempercepat langkah kami menuju ruangan sang algemeen. Sebelumnya kami telah diberi tahu letak ruangannya itu. Aku mengetuk pintunya dan menunggu jawaban dari dalam. Tak lupa aku membawa upeti yang disimpan di dalam kotak kayu seukuran kendi air.
"Binnenkomen," terdengar suara bariton yang masih kuingat dengan baik. Akupun membuka pintu. Kulihat dia sedang membaca koran di kursi kerjanya tanpa melihatku. Sebenarnya, hanya aku yang diperbolehkan masuk ke dalam ruangan algemeen ini, sehingga aku segera menutup pintu setelah masuk. Bersamaan dengan itu ia mendongak dan menyeringai memandangku.
"Inlander! Akhirnya kau datang juga." Ia terlihat puas. Sebenarnya aku cukup kaget ia bisa berbahasa bahasa kami.
"Maaf jika lancang Algemeen, tapi aku punya nama. Namaku Dita."
"Bah! Kau hanya seorang Inlander, sama seperti yang lainnya! Untuk apa aku memanggilmu sesuai yang kau mau? Karena kau anak bupati, eh?" seringainya kembali terlihat dengan jelas. Suaranya mulai naik. Aku semakin merasa tak nyaman di sini. Perlahan-lahan aku mundur.
"Ba-baiklah Algemeen, panggil aku sesukamu. Se-sepertinya tugasku sudah selesai disini. Permisi, Algemeen. Semoga hari anda menyenangkan," aku berusaha untuk bersikap sopan di hadapannya, mengesampingkan kebencian, kini aku merasa takut.
Raut mukanya berubah meyeramkan, tiba-tiba ia berdiri dan menggebrak meja, "JANGAN BERANI-BERANI MENINGGALKAN RUANGAN INI TANPA SEIZINKU!"
Wajahnya merah padam, kulihat telapaknya memerah karena gebrakannya tadi. Aku hanya diam, sangat kaget dengan apa yang barusan dia lakukan. Apa-apaan itu?
"Hei Inlander! Vadermu telah membuangmu! Sekarang kau milikku!"
Aku tak bisa menahan amarahku lagi, "Apa maksudmu, Algemeen?! Aku bukan seorang budak! Bapakku tidak akan membuangku! Sekarang urus saja upetimu itu dan biarkan aku pulang!" aku melempar kotak upeti itu di hadapannya.
"Tidak percaya, eh?" Dia membuka kotak itu dengan kunci yang dia keluarkan dari kantongnya dan menunjukan isinya padaku. Selama beberapa saat aku tidak percaya akan apa yang kulihat. Kotak itu hanya berisi sepucuk surat perjanjian, tidak ada uang sepeserpun.
Di surat itu tertulis namaku ... dan tanda tangan bapakku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nindita
Historical FictionSeorang putri bupati yang tiba-tiba dijual kepada kompeni oleh ayahnya sendiri. "Hei Inlander! Vadermu telah membuangmu! Sekarang kau milikku!" Aku, Nindita Gayatri Candraningtyas, seorang putri bupati, dan seorang baboe. (Short chaptered)