Pemandangan yang kulihat dari depan pintu ruang kerja ayahku benar-benar mengejutkan. Terlihat olehku dua kompeni yang duduk di kursi, salah satunya mengangkat kaki di atas meja sambil mengisap pipa rokoknya. Tidak sopan sama sekali! Berani-beraninya ada kompeni yang menginjakkan kakinya di rumah ini!
"Dita, masuk dan beri salam untuk mereka," perintah bapakku kepadaku.
"Ha-hallo," aku hanya mengerti beberapa kata dari bahasa mereka, karena aku tidak mendapat pendidikan tentang bahasa dan lainnya. Gadis berkedudukan sepertiku hanya diajari tatakrama dan pelajaran wanita seperti menjahit dan memasak. Selain itu, kami benar-benar seperti tinggal di dalam batu. Tetapi setidaknya aku lebih beruntung daripada Mbak Ndari yang buta huruf sama sekali.
"Net wat we nodig hebben!" salah satu kompeni itu berbicara. Dia tersenyum puas.
"Maar algemeen, ze is te jong!" kompeni satunya, yang sepertinya lebih muda terlihat tidak setuju dengan perkataan temannya.
"Bapak, apa maksudnya ini?" tanyaku langsung karena aku ingin cepat-cepat keluar dari sini.
"Maafkan ayah, Nduk. Mereka meminta bapak untuk mengirim upeti ke markas mereka besok pagi, dan bapak membutuhkanmu untuk mengantarnya kepada mereka, karena bapak tidak bisa meninggalkan pekerjaan ini," jawabnya dengan raut muka yang sepertinya terdapat perasaan bersalah.
"Apa?! Bapak bahkan tidak mengizinkanku untuk membantu kaum kita, dan sekarang menyuruhku untuk masuk ke kandang singa?! Aku tidak mau!!!" aku tidak bisa membendung emosiku lagi. Air mata sudah terkumpul di sudut kedua mataku, siap tumpah sewaktu-waktu.
"Bapak," ucapku lebih lembut, "Jangan seperti ini. Kita bahkan menolak untuk mengirim rempah-rempah kepada mereka, mengapa sekarang kita harus membayar upeti?"
"Dita, bapak mohon... kau ingin kaum kita tetap kuat melawan-" bapakku melirik kedua kompeni itu, "-mereka bukan? Sekarang tolong bantu bapak mengantar upeti saja, lalu kembali lagi kemari. Tolong?" katanya dengan sedikit tersenyum.
"Bapak, kita sudah kalah namanya jika membayar upeti kepada mereka!!!"
"Emm, ma-maaf," kompeni yang lebih muda itu berbicara, "Algemeen sudah tidak sabar lagi, jadi apa kalian bisa mengantarnya untuk kami?"
"BRAKKK!!!" kompeni yang lebih tua itu menggebrak meja bapak.
"Je wil allemaal bij dageraad sterven!!!" teriaknya dengan nyaring. Wajahku memucat. Aku mengerti satu kata yang diucapkannya: mati...
"JA!" teriakku tak kalah nyaringnya, "Aku akan mengantarnya kepada kalian!" karena tak tahan lagi, aku berlari keluar dengan menahan isakan yang mulai terdengar.
Kompeni-kompeni gila! Umpatku dalam hati. Aku masuk ke dalam kamar dan menutup pintu.
***
"Gadis bodoh." kata kompeni yang baru saja menggebrak meja itu.
"Jangan menghina putriku, Algemeen." sahut Bupati Atmaja membela putrinya.
"Bah! Dia bahkan berpikir aku tidak bisa bahasa Inlander! Konyol sekali!"
Bupati itu menyatukan kedua tangannya erat-erat. Dia sama sekali tidak ingin bekerja sama dengan kompeni-kompeni arogan ini. Namun, kejadian pagi tadi telah mengubah pikirannya seratus delapan puluh derajat.
"Tenang saja, prajuritku itu telah dihukum mati. Yah, anggap itu peringatan dari kami," kata kompeni itu sambil menyeringai. Tentu saja bupati itu tahu prajurit mana yang dimaksud. Jika aku tidak menyanggupi tawarannya, semua orang akan tahu kabupaten ini tidak kuat lagi melawan mereka.
"Bagaimana dengan inlander itu?"
"Sudah diserahkan kepada keluarganya. Siang ini akan dimakamkan."
Segala perasaan benci dan bersalah ia telan bulat-bulat. Maafkan bapak, Dita... ia menelan ludahnya dengan susah payah. Tidak apa-apa, ini semua demi Dimas...
"Berjanjilah kepadaku kau akan menjaga putriku, algemeen," dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Pria itu disiksa oleh perasaan bersalah yang teramat sangat.
Kompeni itu berbicara untuk terakhir kalinya sebelum berjalan pergi. Seringainya tampak semakin jelas, "Kau vader yang buruk, bupati. Siapa yang tega membuang putrinya sendiri demi kehormatan dan gelar?"
"Dan tentu saja, karena ia lebih menyayangi putranya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Nindita
Historical FictionSeorang putri bupati yang tiba-tiba dijual kepada kompeni oleh ayahnya sendiri. "Hei Inlander! Vadermu telah membuangmu! Sekarang kau milikku!" Aku, Nindita Gayatri Candraningtyas, seorang putri bupati, dan seorang baboe. (Short chaptered)