"Because it feels good," jawab Fuad ketika kutanyakan alasan yang membuatnya gemar mencium kaum hawa, sambil menghabiskan satu loyang pizza bersama.
"How come?" Bukan berarti aku tidak tahu bagaimana rasanya berciuman. Hanya saja, ada perasaan tidak terima, jengah, jengkel tapi juga kesal yang menggunung setiap kali mengingat ciuman singkatku dengan Jorey semalam.
Aku benci ketika aku harus memimpikan ciuman Jorey sepanjang malam. Dan terlebih benci ketika menyadari dia pasti juga membagi ciumannya untuk perempuan lain. Perempuan yang enggan kusebut namanya.
"Ya elah, Lit. Waktu bikin Nabila emang gimana rasanya? Kok pake nanya segala?" gerutunya.
"Ya, maksudku, kok bisa sih kalian semudah itu cium cewek di sini dan di sana sesuka hati aja? Kok bisa-bisanya abis nyosor satu cewek, besok nyosor cewek lainnya lagi???" protesku menggebu-gebu. Tidak sadar kalau sedang melampiaskan kekesalan pada orang yang salah.
"Ya kan sensasinya beda-beda, Lit. Ada yang enak diemut, ada enak digigit-gigit, ada juga yang enak diisep-isep, ada juga—"
"HEH!!!" entah bagaimana caranya, dari setiap penjelasan, aku menjadikan Jorey sebagai fantasi. Aku benar-benar sudah gila!
"Hey! You're the one who asking. Kenapa malah marah-marah? Kok ngajak ribut gini sih? Bikin curiga aja deh!" Fuad mendelik kesal, sebelum mengerling jahil. "Abis disosor ya? Sama siapa?"
Dengan teliti kuperhatikan dagu India yang julid itu, sebelum mencabut satu helai rambut yang membuatnya menjerit histeris. Mampus! Biar berhenti kepo dah tuh!
"Gini nih, kalo udah kelamaan nggak disosor. Bawaannya sensi, kayak kepala penis!" dumal Fuad setelah jeritannya reda. Sebelah tangannya dikerahkan untuk mengelus bagian janggut yang baru saja kucabut paksa. Dugaanku meleset, dia ternyata mengoceh kian menggebu. "Nih, biar makin sensi! Aku kasih tahu ya, ciuman paling enak tuh kalo semua teknik dilakukan bersamaan. Diemut, digigit, diisep, di—"
Fuad akhirnya bungkam, saat kusorongkan satu slice pizza secara paksa ke dalam mulutnya.
"Nggak usah ngaku Don Juan deh, kalau cium isteri sendiri aja belum pernah!" balasku telak.
Kali ini Fuad benar-benar bungkam. Sambil melamun, dia mengunyah pizza yang memenuhi mulutnya.
Oh, apa aku sudah bilang kalau sahabatku yang satu ini sudah menikah? Yah, dia memang digilai banyak wanita, tapi hanya satu wanita gila yang bersedia menikahinya. Gladis Sandjaya namanya. Bagaimana tidak gila kalau sang istri membebaskan suaminya bermain gila di luaran sana? Walau aneh, pada akhirnya kami semua maklum, karena latar belakang pernikahan mereka memang sekadar pernikahan bisnis. Tidak ada cinta di antara mereka.
"Bener juga ya, Lit," gumam Fuad setelah puas dengan lamunannya.
"Apanya?"
"Tekstur dan bentuk bibirnya Gladis kayaknya bakalan enak banget tuh kalo disosor. Ulang tahun perusahaan keluarga minggu depan, aku coba godain dia, deh!"
"Sinting!!!"
Sebelum pembicaraan semakin gila lagi, aku memutuskan untuk meninggalkan ruang meeting yang sedari tadi menjadi tempat mengobrol kami dan pergi menjemput Nabila dari tempat les karate.
**
"Kak Litha?"
Kuharap tarikan kedua sudut bibirku cukup untuk menyamarkan kernyitan yang muncul bersamaan dengan sapaan itu. Sambil mempertahankan senyum aku mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pria tampan yang menyapaku di tempat kursus Nabila ini?
Kalau dilihat dari penampakannya yang terbalut pakaian karate dengan sabuk hitam, jelas dia bukan sedang berguru di tempat ini. Lantas, apakah dia sensei-nya Nabila? Tapi ... darimana dia tahu namaku? Sementara ini adalah kali pertama aku kebagian tugas untuk menjemput Nabila di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Unconditionally [TERBIT]
ChickLit[21+] Ini tentang Litha, yang terjebak dalam sikap heroiknya, hingga jatuh cinta pada seorang preman berkedok pengacara. Ini juga tentang Nabila, anak tunggalnya yang butuh sosok seorang ayah. Meski benci hingga ke tulang-tulang, Litha harus berdama...