12. Take Control

12.8K 2.3K 227
                                    

Harusnya sih update semalam...
Heheee... semoga tetap bisa dinikmati yaaa 🤗🤗


"Sendirian aja?" pancing Fuad sesaat setelah berkenalan dengan Caleb.

"Bareng temen. Tapi dia bareng pacarnya. Saya nggak enak nempel di sana terus, takut ganggu," jawab Caleb cengengesan.

"Kamu sendiri? Kenapa nggak bawa pacar?" Kali ini Ben yang bertanya.

"Masih single, Dok," lagi-lagi Caleb cengengesan, kali ini sambil melirik ke arahku. Mungkin ingin meminta bantuan dari interogasi dadakan kedua sahabatku ini.

"Panggil Abang aja, biar deket gitu kesannya," koreksi Fuad, sebelum bertanya lagi, "Kegiatan sehari-harinya ngapain, Leb?"

"Guru BK di SMA Negeri, Bang!" Dengan cepat Caleb mengikuti instruksi Fuad untuk mengganti panggilannya.

"Oh, guru BK," Ben mengangguk-angguk sok paham, lalu melemparkan pandangan padaku seraya tersenyum dan mengangkat alisnya tinggi. Aku tidak pernah tahu kalau fakta tentang profesi Caleb bisa membuatnya sebahagia itu.

"Tapi kenapa Bila panggilnya Sensei?" kritis Fuad.

"Oh, selain guru BK, saya membantu usaha Kakak saya sebagai tenaga pengajar karate di tempat kursusnya, Bang," jawab Caleb santai.

"Wah!!! Guru Karateeeee ...." lebay Fuad. Deretan giginya yang putih tampak silau diterpa matahari pagi. Sungguh membuatku tak nyaman. "Bisa melawan preman-preman jahat, dong!"

"Nanti Bila juga bisa lawan preman, Om! Bila kan belajar karate juga!" sela Bila penuh semangat. Andai saja dia tahu preman siapa yang dimaksud Fuad, aku tidak yakin dia akan melontarkan kalimat itu.

"Harus itu! Apalagi kalau premannya suka nyakitin perasaan Mama, Bila harus tendang pakai jurus Pendekar Rajawali."

"Elah, Bila mana kenal Pendekar Rajawali, Wad!" Ben meninju pelan lengan Fuad.

"Yang suka nyakitin Mama bukan preman, Om. Tapi Papa!" celetuk Bila polos. Sontak membuat kami semua terdiam.

"Hei, Bila kok ngomong gitu sih?" Segera kuraih Bila ke pelukan. Berpikir keras untuk mengubah pola pikirnya. Dia tidak boleh mencium aroma peperangan antara aku dan Jorey. Belum sempat aku memikirkan kalimat pengalihan, i Bila lebih dulu memaparkan hasil pengamatannya dengan nada polos tak berdosa.

"Soalnya tiap kali teleponan sama Papa, Mama selalu marah-marah, kalau enggak nangis. Mama sama Papa juga nggak mau tinggal sama-sama lagi. Yoana bilang Bila kayak Gempi. Punya Papa Gading sama Mama Gisel yang sayang sama Gempi, tapi Papa sama Mamanya nggak saling sayang, makanya pisah. Gempinya dioper-oper. Dulu sama Mamanya, sekarang sama Papanya. Bila sayang sama Papa dan Mama, tapi Bila nggak mau dioper-oper kayak Gempi."

Aku terserang asma mendadak. Menghela napas pun rasanya sulit. Susah payah aku menuntun Bila untuk mengikuti tayangan-tayangan edukatif saja selama ini, tapi ternyata tidak cukup untuk membuatnya bebas dari gosip-gosip di luaran sana. Tentu saja di usianya saat ini Bila akan menyerap semua informasi dari luar, tugasku adalah untuk membimbingnya menentukan yang benar dan yang salah. Tapi, bagaimana aku harus menjelaskan, kalau apa yang dikatakannya benar adanya? Bagaimana aku tega menyakiti perasaannya?

Tak pelak pemikiran itu membuat pandanganku memburam. Sekumpulan kabut mulai menguasai iris mataku.

"Yang dioper-oper itu bola, Cantik, bukan manusia. Bisaan aja temen kamu itu!" Caleb meraih Bila dari pelukanku. "Bila, ini namanya apa sih? Waktu Sensei kecil dulu kayaknya nggak ada beginian deh. Tadi Sensei lihat Bila pinter banget maininnya. Ini bisa dipakai sama Sensei juga nggak? Ajarin dong?"

I Love You Unconditionally [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang