3. Back Then

13.1K 2K 179
                                    



Kalau dirunutkan, kisah cintaku dengan Jorey sebenarnya baru mekar dan bersemi di tahun pertama aku mendapat gelar sebagai dokter spesialis obgyn. Waktu itu, merupakan bulan ke dua aku bekerja di rumah sakit bersalin Stella Brigita.

Jorey datang sambil membawa seorang wanita hamil yang sudah kualahan karena air ketubannya pecah. Kebetulan, akulah dokter yang akhirnya membantu persalinannya. Aku ingat sempat sedih dan kecewa saat memikirkan Jorey sebagai ayah dari si bayi lucu yang kubantu proses kelahirannya ke dunia saat itu.

Tapi ternyata, saat kuucapkan selamat di depan pintu kamar bersalin, dengan entengnya dia berkata, "Nanti gue sampein ke bokapnya. Bokapnya pasti seneng banget."

Entah kenapa, aku malah tersenyum lebar saat menanyakan, "Kamu ... bukan ayahnya?"

Jorey menggelengkan kepala sebagai jawaban. "Masih single, gue. Klien gue. Abis dari pengadilan barusan."

Aku manggut-manggut sok paham.

"Lo? Single juga?"

Pertanyaannya membuat kepalaku mendongak menatap matanya. Seketika itu pula, aku merasa dunia mendadak sepi. Terjebak dalam tatapannya yang menjerat dan menenggelamkan. Aku sesak napas karenanya.

"Double?" tanyanya lagi mengembalikan kesadaranku.

"Apanya?"

"Statusnya?"

Tidak bisa memikirkan jawaban yang tepat, aku mengangkat kedua jemari tanganku ke udara. "Nggak ada cincin sama sekali."

Dengan cepat tangannya menangkap dan memeriksa jari manisku. "Ada bekasnya, tapi."

Aku masih ingat bagaimana efek sentuhan kecil itu di tubuhku. Aku nyaris menyerahkan diriku ke IGD untuk diperiksa akibat gagal pernapasan. Tapi untunglah, aku bisa menguasai diri dengan cepat. "Baru putus. Seminggu yang lalu."

Dia ... dengan garis-garis yang super tegas di wajahnya malah tertawa kecil mendengar kabar buruk itu.

Setelahnya, semuanya tiba-tiba berjalan cepat. Hanya butuh waktu satu bulan, dengan diiringi komunikasi super intens, untuk membuat Jorey berkunjung ke apartemenku.

Malam itu, Jorey menunjukkan keahlian memasaknya. Katanya dia menjadi akrab dengan dapur selama menjadi anak kos selama kuliah. Aku bahkan masih ingat masakan pertama yang dimasakkannya untukku, pasta primavera.

"Apa kabar dua bodyguard kamu?" tanyanya di sela-sela obrolan ringan kami seusai makan malam. Aku sampai tidak sadar sejak kapan Jorey mengubah sebutan lo-gue andalannya menjadi aku-kamu begini? Tapi entah mengapa, aku lebih senang mendengar panggilan versi sekarang.

"Ben dan Fuad?" tanyaku memastikan. Dijawab dengan anggukan kepala. "Masih panjang perjuangan mereka. Ngambil spesialis bedah saraf soalnya. Kuliahnya lebih lama."

"Si playboy itu juga?" Jorey tampak sedikit takjub.

"Iya. Fuad juga. Dia sih kayak nggak punya tujuan. Ikut-ikutan Ben doang. Untung pinter, jadi bisa ngikutin."

"Aku kirain dia bakal ngambil spesialisasi obgyn."

Tawaku pecah seketika. Pendapat Jorey itu adalah pendapat sejuta umat. Melihat ketertarikan sahabatku yang berdarah India itu terhadap kaum hawa, semua orang berpikir dia pasti akan sangat senang jika kesehariannya berhubungan dengan organ reproduksi wanita.

"Kamu mungkin nggak bakal percaya kalau aku bilang dia bahkan sempat jeda lama berhubungan sama perempuan abis melewati stase obgyn?"

"Ah masa? Bukannya dia bakal pura-pura bodoh biar bisa ngulang-ngulang terus?"

I Love You Unconditionally [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang