8. i wasn't enough for you

12.5K 2.2K 162
                                    

"Manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Ini bukan salah Ibu, saya tahu Ibu sudah berusaha yang terbaik. Saya pun sudah melakukan yang terbaik. Hanya saja, ini belum waktunya." Aku berusaha menenangkan seorang pasien yang selama ini kubantu dalam program bayi tabung. Dia baru saja melakukan embrio transfer beberapa minggu yang lalu, namun hari ini, dia tiba-tiba datang dengan keluhan bercak darah pada pakaian dalamnya. Sayangnya, setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, bercak darah itu pertanda kalau program yang kami lakukan gagal. Embrio yang sudah ditanam luruh dari rahimnya.

Calon ibu itu menangis. Selayaknya ibu yang kehilangan bayinya. Berat, pasti. Aku pun kadang tidak membayangkan bagaimana jika aku yang berada di posisinya. Untuk itulah aku selalu bersyukur memiliki Nabila yang sehat dan kuat. Kalau ada satu hal yang kusyukuri dari hubunganku dengan Jorey, Nabilalah jawabannya.

Aku meninggalkan ruangan sang pasien, membiarkan pasienku saling menguatkan bersama suaminya yang menemani sepanjang waktu. Saat itu pulalah sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponselku.

Saat membuka pesan tersebut, aku menemukan gambar mobil yang selama ini setia membuntutiku disambangi oleh seseorang yang begitu kukenal. Gambar yang dikirim oleh Caleb, dengan pesan berisi, "In case you still wondering...."

Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera menelepon Caleb sambil berjalan menuju ruanganku.

"Itu Jorey, Papanya Nabila," kataku tanpa kata pembuka.

"Iya, Kak. Aku tahu. Dia yang daftarin Nabila ke sini, ingat?"

Aku berdecak tak habis pikir. "Apa-apaan sih, dia?"

"Sebenarnya, Kak ... baru aja, orang yang ada di foto itu jemput Nabila dan bilang kalau Nabila bakal stop belajar karate di sini. Dia juga terang-terangan nemuin aku cuma untuk ngingetin supaya aku tahu diri, dan nggak bermain-main sama keluarganya kalau nggak mau celakain diri sendiri."

Tanpa bisa kucegah, mulutku menganga lebar. Langkahku bahkan sempat berhenti.

"Kayaknya dia pikir aku pacar barunya Kakak."

"What the—" tanpa sadar aku nyaris mengumpat. Tersadar, aku pun meminta maaf. "Sorry, Leb. Mantan suamiku ini emang hobi banget cari masalah." Kali ini aku melangkah lebih cepat agar bisa masuk ke dalam ruanganku lebih cepat juga. Tidak ingin terlihat sedang kacau di depan para rekan sejawat.

"It's okay, Kak. Aku malah merasa tersanjung."

Aku masih ingin bertanya lebih banyak, tapi tiba-tiba Nabila muncul sambil menangis tersedu. Pembicaraan lewat ponsel akhirnya kuputuskan secara sepihak demi melayani putri kecilku.

"Papa jahat!!!" katanya saat memelukku erat. "Masa Papa bilang mulai besok Bila nggak usah les karate lagi! Padahal Bila kan kesayangan Sensei di situ. Bila anak hebat!!! Bila selalu dipuji karena bisa Kihon dan Dachi!!! Pokoknya, Billa senang di tempat les karate itu, Ma! Bila suka sama Sensei Luki!!! Apalagi sama Sensei Caleb!!!"

"Itu dia masalahnya, Sayang. Nggak semua Sensei itu hatinya bersih. Beberapa dari mereka sebenarnya cuma pura-pura sayang sama kamu untuk merebut milik kamu." Jorey membela diri.

"Merebut apa?" tanyaku tajam.

Jorey membalasku sama tajamnya. "Jangan berlagak kayak kamu nggak paham maksudku."

Aku pasti sudah membalasnya dengan makian kalau suara Nabila tidak pernah menyela. "Yang suka rebut cokelat Bila itu namanya Ravi, Pa! Temen di sekolah Bila, bukan di tempat les! Bukan sensei! Sensei malah sering ngasi Billa coklat! Papa gimana sih??? Katanya pengacara, masa nggak bisa bedain mana yang benar dan mana yang salah?"

I Love You Unconditionally [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang