10. How You Really Feel About Me?

11.8K 2.2K 109
                                    

Aku menggunakan waktuku untuk mendengarkan Jorey bercerita tentang apa yang menimpanya, dengan kedua tangan sibuk memperbaiki perban yang membebat perutnya. Beruntung aku selalu menyediakan satu tas khusus peralatan medis di dalam mobil untuk berjaga-jaga. Dan peralatan itulah yang berjasa membantuku merawat Jorey.

Dari cerita singkat itu, aku akhirnya tahu kalau Jorey diserang secara mendadak sesaat setelah memenangkan kasus yang ditanganinya.

Bukan hal yang baru, sebenarnya. Jorey memang tergolong pengacara yang arogan dan kasar. Aku tidak akan heran kalau pihak lawan merasa tersinggung dengan sikapnya. Dulu pun, saat kami masih menjadi suami-istri, aku kerap mengomel soal luka-luka yang dibawanya pulang.

Dia selalu mengaku salah dan akan berubah, tapi selalu pula kembali pulang dengan luka-luka baru.

Kejadian hari ini sontak mengingatkanku pada masa-masa itu. Syukurlah, luka Jorey kali ini tidak seburuk dugaanku. Tidak ada jahitan yang sobek. Pun, lukanya tidak terlalu dalam. Tapi bukan berarti dia bebas keluyuran naik pesawat dari Bali ke Jakarta dan membenturkan tubuhnya untuk memeluk Nabila.

"Aku nggak mau dibilang jahat lagi sama Bila," pelasnya saat kuutarakan uneg-unegku. "Aku udah kepalang janji sama dia, dan aku nggak mau ingkar...."

Dengan wajah setulus itu, bagaimana mungkin dia tega mengingkari janji sehidup semati yang kami ikrarkan di depan altar?

"Tapi kamu bisa mengingkari janji suci pernikahan kita...." Tak kuasa, kuutarakan isi hatiku.

Pandangan mata kami yang sedari tadi terkoneksi diputuskan sebelah pihak oleh Jorey. Dia menghela napas panjang sambil mengarahkan wajahnya ke langit-langit ruangan.

Aku tahu ini bukan saat yang tepat. Dia tidak dalam kondisi yang bagus untuk dicecar. Dia lelah. Fisik dan mental.

Tapi bukankah aku pun begitu? Aku lelah dengan sikapnya yang tidak jelas itu. Kalau aku melewatkan kesempatan ini, aku tidak yakin akan bisa menanyakan pertanyaan yang sangat ingin kutanyakan ini di waktu lain nantinya.

Maka, kuputuskan untuk bersuara.

"Aku beneran nggak ngerti kamu, Jo. Kamu berkeras mau bercerai. Tapi selalu kebakaran jenggot setiap kali aku dekat sama pria lain. Kamu nekad untuk pindah ke sini, ninggalin aku dan Nabila. Tapi lihat sekelilingmu, Jo ...." Aku mengedarkan mata menyusuri setiap penjuru ruangan. "Kamu hidup dengan sisa-sisa kenangan denganku dan Nabila. Foto pernikahan kita bahkan masih terpajang pada tempat semula."

Aku menggelengkan kepala tak habis pikir. "Jadi sebenarnya ... semua ini maksudnya apa sih? Tolong jelasin, karena aku nggak paham sama sekali...."

Sekali lagi Jorey mengembus napas lelah, sebelum menarik ujung kemejanya menutupi bagian perut yang baru saja kupermak. Sesekali dia meringis dan merintih. Gaya pengalihan perhatian yang selalu menjadi andalannya.

Tapi maaf, aku bertekad untuk memperjelas nasibku hari ini. Aku tidak akan berhenti sebelum dia memperjelas maksud sikapnya selama ini. Katakanlah aku bodoh dan naif, tapi siapa yang tidak bodoh di hadapan pria yang dicintainya? Kalau perlu, aku akan mengancam....

"Kalau kali ini kamu masih nggak bersuara, aku bakal anggap kalau kamu merestui hubunganku dengan Caleb."

Sumpah, aku sama sekali tidak berniat untuk mengucapkan nama siapapun. Nama itu meluncur begitu saja karena dia yang terakhir kali dilabrak oleh Jorey. Tapi sepertinya nama itu benar-benar ancaman bagi mantan suamiku ini. Matanya mendadak membuka lebar, dan kepalanya ditolehkan kembali padaku.

"Don't you dare...," bisiknya berbahaya.

Aku tersenyum sinis. "Look at yourself, Jo. Kamu beneran keliatan kayak cowok posesif yang nggak mau ceweknya direbut orang! But guess what, aku bukan istrimu, dan aku bebas menentukan pasangan hidupku!" Secara khusus, kalimat terakhir kuucapkan dengan penuh penekanan, berharap dia akan menyerah pada sikap keras kepalanya itu dan mengaku.

I Love You Unconditionally [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang