Kelahiran ke dua hari ini, dengan suasana yang sama harunya dengan kelahiran-kelahiran lainnya.
Pria yang sejak tadi menjadi sasaran remasan, pukulan bahkan jambakan istrinya saat mengejan mulai menitikkan airmata. Bukan karena kesakitan. Tapi semata-mata karena tangisan bayinya akhirnya menggema.
Pria itu bahkan mulai terisak saat suster mengangsurkan puteri cantik yang baru dibersihkan seadanya itu. Disambut sang istri, ketiganya saling memeluk erat, seolah memantapkan hati untuk mulai babak baru dalam mengarungi kehidupan.
Aku memerhatikan dengan perasaan melankolis yang kembali hadir tanpa diundang. Menghadapi persalinan memang tidak pernah sama lagi sejak Nabila, putri kandungku, lahir dari dalam rahimku sendiri.
Menyelesaikan pekerjaan dengan cekatan, aku memilih untuk segera keluar dari kamar VK (kamar bersalin).
Di depan lorong, kulihat Ben sedang berjalan lurus, masih dengan pakaian scrub-nya.
"Baru kelar?" Seingatku, dia sudah masuk ruang OK sejak siang, dan belum juga keluar saat aku pulang pukul enam sore tadi. Bukan hal yang mengherankan. Urusan dengan saraf memang tidak pernah mudah.
Tapi bukan karena itu aku memilih spesialisasi yang berbeda dengan salah satu sahabat baikku itu. Melainkan karena urusan hati. Aku terlanjur jatuh hati pada dunia obgyn sejak pertama kali terjun di dunia koas.
Sewajarnya, dokter muda akan ditempatkan pada stase minor (stase yang lebih singkat) sebelum ditempatkan pada stase mayor (stase yang lebih lama). Tapi kasusku cukup berbeda waktu itu. Kehabisan slot di stase minor membuatku harus pasrah diterjunkan pada stase Obgyn, yang merupakan stase mayor, di hari pertama.
Dan kasus pertamaku saat itu adalah pendarahan postpartum (Pendarahan Pasca melahirkan). Secara teori, aku tahu apa-apa saja yang harus kulakukan. Namun tetap saja, menghadapi kenyataan tidak semudah membaca teori. Aku ingat betapa paniknya aku saat itu. Aku sampai kebingungan sendiri cara menghadapi situasi. Untungnya semuanya teratasi dengan baik saat para residen dan konsulen turun tangan.
Saat itu pulalah, aku tahu bahwa hatiku sudah memberi ruang khusus bagi dunia obgyn.
"Cranio cito," jawab Ben yang langsung membuatku paham alasan durasi operasinya yang panjang. Cranio cito yang disebutkannya adalah pembedahan otak dengan membuka tulang tengkorak. Prosedur pengerjaannya sangat kompleks. Biasanya memang memakan waktu yang lama. "Kamu sendiri?"
"Tadi sih udah sempat pulang jam enam. Tapi dapat panggilan, jadi ya, here I am."
Ben tertawa maklum. Ya, seperti inilah kehidupan kami. Lebih banyak dihabiskan di rumah sakit. Kadang aku berpikir alangkah baiknya jika aku mempunyai pasangan hidup yang seprofesi denganku dan bisa memahami ritme kerjaku yang tidak biasa. Sayangnya, hingga saat ini aku masih harus betah menjanda. Beberapa kali dekat dengan sesama dokter pun ternyata tidak cukup untuk memenuhi syarat menjadi pasanganku. Karena aku ini bukan wanita biasa. Aku janda. Jandanya seorang pengacara serupa preman bernama Jorey Kalme Brahmana.
"Minggu depan jadi ke London, Ben?" tanyaku saat mengingat tentang seminar yang dibicarakannya dengan Fuad—salah seorang sahabat baikku selain Ben—saat makan siang tadi.
"Jadi. Kenapa?"
"Aku ikut dong." Aku menawarkan diri. Gagal menutupi raut wajah yang mendadak sendu. "Minggu depan Jorey minta waktu sama Nabila satu minggu. Soalnya bulan depan dia bakal sibuk ngurus sengketa tanah di Bali."
Tangan kekar Ben segera melingkupiku dengan sebuah rangkulan hangat. "Daripada ke London, mending kamu janjian sama Dokter Gama, deh."
"Kapalku dan Gama nggak akan bisa berlabuh, Ben. Karam! Dia mundur setelah tahu aku ini mantan istrinya siapa." Meskipun tergelak, hatiku sebenarnya nyeri. "Kamu tahu sendiri kan gimana reputasi mantan suamiku itu? Nggak ada yang berani ambil risiko kalau urusannya udah sama preman kayak dia."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Unconditionally [TERBIT]
ChickLit[21+] Ini tentang Litha, yang terjebak dalam sikap heroiknya, hingga jatuh cinta pada seorang preman berkedok pengacara. Ini juga tentang Nabila, anak tunggalnya yang butuh sosok seorang ayah. Meski benci hingga ke tulang-tulang, Litha harus berdama...