Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kata Nana hidup Kara adalah sejenis kehidupan yang sangat membosankan.
Pada pagi hari dia bakal berangkat kuliah, dilanjut pergi bekerja part-time di beberapa tempat sampai pukul 10 malam. Sisa waktunya Kara habiskan untuk mengerjakan tugas-tugas atau belajar. Terus seperti itu tanpa henti, membentuk kebiasaan yang monoton.
Sebuah dusta jika Kara bilang dia menikmatinya.
Kenyataannya Kara capek, tapi dia harus menekan rasa lelah yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi rasa manja. Belum lagi dunia fana yang terus menggoda Kara di setiap kesempatan.
Kenapa Kara tidak keluar dari panti asuhan saja? Sudah jelas jawabannya karena Kara merupakan tulang punggung bagi keluarga angkatnya.
Bertahun-tahun lalu, Kara masih tinggal bersama kedua orang tuanya hingga rahasia ayahnya terungkap. Beliau ketahuan berciuman bersama wanita lain di ruang kerjanya. Sejak saat itu kondisi rumah tak sama seperti dahulu. Ruang tengah yang tadinya selalu ramai tiap malam tiba karena perbincangan ringan ketika menonton televisi kini berubah menjadi tempat berbagai macam kata kasar dilontarkan.
"DASAR LAKI-LAKI BANGSAT!!" Ibu berseru keras hingga terdengar ke telinga Kara di kamarnya di lantai dua.
"Lalu kau akan menyebut dirimu apa? Jalang?"
Lantas suara telapak tangan yang beradu dengan pipi menyebar ke seluruh penjuru rumah. Kara yang sedang mengerjakan tugasnya sontak membeku. Hening sebentar sebelum Ibu kembali berbicara.
"Jaga mulut menjijikan mu itu! Aku menyesal telah mencintai bajingan sepertimu."
Kara menggenggam erat pensilnya. Menahan emosinya kuat-kuat, dan tanpa sadar, napasnya ikut tertahan.
Jangan, jangan katakan itu, Ayah.
"Kalau begitu, mengapa kita tidak bercerai saja?"
Serupa kaca yang rapuh, hati Kara pecah begitu saja. Bulir air mata jatuh bersusulan, membasahi buku tugasnya. Tangannya turut memukul dada berkali-kali, meremas pakaiannya tanpa suara.
Serupa vas bunga yang jatuh, dunia Kara hancur menjadi beberapa kepingan ketika Ibu meninggalkannya di bangku dekat panti asuhan dengan embel-embel mau membeli sesuatu. Nyatanya wanita itu hanya mengakali Kara. Dia tidak kembali sampai malam tiba dan hujan mengguyur tubuh Kara.
Mungkin dingin akan melahap habis tubuh Kara jika saja Bunda tidak berinisiatif mengajaknya masuk dan membuatkannya secangkir cokelat panas. Bunda sebenarnya melihat bagaimana ibu Kara berlari meninggalkan putranya. Tapi Bunda diam, menunggu Kara siap menceritakannya.
Alarm di ponsel Kara menariknya kembali ke dunia nyata. Sudah waktunya Kara bekerja paruh waktu. Dia bergegas beranjak turun ke lantai bawah.
"Bunda, Kara pergi kerja dulu!" Kara berseru dari ruang tengah, namun Nessa-salah satu anak panti-yang menyahut alih-alih Bunda.