08. Sean dan Penyesalan

1.4K 193 13
                                    

Kenza tidak tahu, candaan apa yang diberikan semesta sekarang di ujung hari Sabtu yang mengiris perih rungu. Kejutan apa yang diberikan bumantara ketika kaki ringkihnya tak mampu lagi tertopang pada tanah hingga lulut tertekuk, dan tiba seorang watas nyata yang menopang agar Kenza benar -benar tidak terjatuh. Mengejutkannya lagi, di sela-sela saat tangisnya menetes tumpah ruah, ada sebuah hasta yang mengusap lembut bahu bergetar milik Kenza. Mendekapnya, memberikan satu peluk yang menghangatkan daksa.

Sepuluh menit Kenza tidak bereaksi apa-apa. Bahkan sekedar untuk membalas dekapan yang sedang menenangkannya, tangan anak itu seolah kehilangan fungsi seperti biasa. Air mata yang semula berlomba-lomba jatuh dari kelopak netra, kini memilih berhenti seiring rintihan akhirnya mengenal kata sudah. Detik itu waktu seolah memerintah, agar Kenza menikmati setiap usapan pelan di punggungnya. Mendengarkan apik bagaimana suara lembut itu mengisi indra, merasakan getaran yang tak biasa di jantungnya.

Hingga semuanya sedikit reda, pelukan itu melonggar dan dua pasang netra mereka di pertemukan. Malam itu, yang Kenza rasakan ketika legam maniknya ditatap teduh oleh si puan, ia merasakan tenang. Ia seperti aman hanya dengan menelisik lingkar mata perempuan yang tadi tiba-tiba berhenti di pinggir jalan.

"Kamu udah puas nangisnya?" Alih-alih menjawab, Kenza justru terdiam. Bahkan ketika tangan wanita itu mengusap surai hitamnya, Kenza tetap tidak memberikan perlawanan.

"It's okay to cry. Kalau mau nangis lagi, nggak pa-pa. Nanti saya peluk. Oh iya, saya bukan orang jahat, kok. Kebetulan tadi saya lewat, terus lihat kamu nangis. Makanya saya samperin." Tiba-tiba saja perempuan yang kelihatan sedikit sudah berumur tetapi terlihat muda itu terkekeh. Ia usap lagi rambut Kenza, agak acak-acakan hingga wajah anak sehabis menangis itu terlihat menggemaskan.

"Gemes banget." katanya lagi, sebelum pandangan si taruni teralih kepada jam yang melingkar di tangan kiri. "Eum, sebenarnya saya nggak bisa lama nemenin kamu di sini. Ada urusan soalnya. Ini kan udah malem, daripada kamu pulang sendirian, yok saya antar. Tenang, gratis, kok. Kamu nggak perlu bayar dan bakalan selamat sampai tujuan. Ayo!"

Ajakan si tanpa nama itu tak dapat terelakkan. Nyatanya, ketika sang puan berdiri lebih dulu dan ia mengulurkan tangan, Kenza menerima hasta kanan yang terulur padanya dan berakhir dengan mereka saling menggenggam. Ruas-ruas jemari yang saling bertautan itu seakan tiba-tiba memberikan kehangatan, nyaman yang menaungi sang dua insan.

Dan tanpa Kenza sadar, bahwa musik yang semula bernada teriakan begitu kencang di balik earphone abu-abu yang tak sempurna lagi tataannya di telinga kiri dan kanan, ada panggilan berulang yang sejak tadi menjerit dan layar ponsel menyala dengan beberapa pesan. Semua itu datang dari seberang sana, dari Sean yang sedang ketakutan tak karuan.

🌧🌧🌧

Digit nomor yang Sean tekan berulang kali di atas layar persegi panjang adalah nomor yang sama. Panggilan kesekian yang tak mendapatkan jawaban apa-apa dari seberang, dan pesan-pesan centang dua yang tidak juga mendapatkan balasan.

Ketika waktu merangkak kian maju dan bulan perlahan meninggi, kekhawatiran Sean kian menjadi-jadi. Lantai keramik teras rumah dan pot-pot bunga adalah saksi bagaimana Sean terus mondar-mandir ke kanan ke kiri, berbicara sendiri, bahkan mengumpat habis-habisan dalam hati. Sial. Kenza membuatnya secemas ini.

Dan napas khawatir Sean berganti dengan hembusan napas lega saat suara geseran pagar terbuka kemudian sebuah mobil putih berhenti sejenak di hadapan rumahnya, lalu tidak lama langsung beranjak dari sana. Pagar besi menjulang melebihi tinggi badan Kenza itu kembali tertutup. Terekam apik oleh mata Sean bagaimana Kenza melambaikan tangan kepada pengemudi kendaraan itu, sebelum ia membawa langkahnya masuk dan tatap keduanya segera bertemu.

Waiting For Mom | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang