10. Nothing Revealed/Everything Denied

1.2K 175 17
                                    

Dari awal, yang Kenza pikirkan tentang Mama adalah bagian baik-baik saja. Membayangkan wanita itu bertemu dengannya untuk pertama kali disambut oleh sapaan hangat atau peluk ternyaman yang ingin Kenza rasa. Membuat sketsa di kepala sendiri, bahwa mungkin saat ia dan Mama bertemu, mereka akan saling bertukar cerita. Membuka lembaran-lembaran lama kehidupan dahulu, bagaimana hidup mereka berjalan sebelum berjumpa. Mungkin juga saat mereka berempat bertemu dan membentuk utuh korelasi keluarga, ada hal-hal baru yang akan Kenza nikmati saat bersama Mama. Ia akan mendengarkan tawa Mama dan memperhatikan lekuk wajah Mama yang indah.

Banyak topik pembicaraan yang telah Kenza persiapkan saat ia bertemu Mama. Banyak rindu yang ingin Kenza tuntaskan ketika ia berhasil menggenggam Mama dan membawa wanita itu masuk ke dalam kehidupannya. Satu hal lagi yang paling terpenting adalah, saat dirinya dan Mama ditakdirkan untuk berjumpa kemudian keluarganya menjadi definisi keluarga yang benar-benar utuh tanpa kekurangan anggota, mungkin ia tidak akan membandingkan dirinya lagi dengan keluarga teman-temanya. Mungkin Kenza tidak susah-susah menyembunyikan rasa cemburu saat ia tanpa sengaja mendengar teman sekelas bercerita tentang keluarga mereka yang sempurna.

Semua itu adalah perihal mungkin. Harap-harap yang kenyataannya tidak disetujui semesta untuk terjadi. Tidak mendapat dukungan dari bumantara untuk Kenza menginginkan hal-hal yang selama ini tak pernah ia alami. Tetapi bagian paling pedih, adalah bagaimana alur hidup seperti menerbangkannya terlalu tinggi. Membuat Kenza sudah terlalu menaruh harapan ketika ia dan Mama akan bertemu hari ini. Semua harapan itu dipatahkan. Kenza kembali ditarik paksa ke alur hidup sebelumnya, di mana hanya keluarganya seperti ditakdirkan cukup mempunyai tiga jiwa di dalam rumah.

Lantas saat waktu perlahan kian merambat maju, bulatnya baskara kembali terbakar di perpaduan barat nabastala, dan anak-anak bumi berpulangan selepas mengembara, Kenza pun dituntun untuk masuk ke dalam ruang sebetulnya. Ruangan kamar yang menjadi tempat pulangnya, tempat ia menaruh segala rasa lelah. Tidak banyak yang Kenza lakukan di dalam bilik ini selain berdiam diri di atas tempat tidur. Meringkuk seperti janin ke sebelah kiri, ditemani earphone yang selalu ia gunakan untuk menghalangi isi kepalanya yang begitu berisik.

Malam ini, biarkan Kenza untuk tenggelam di dalam muara perasaan yang perih. Biarkan ia menaruh rasa kecewa, marah, dan sakit pada alur hidup yang bercanda tidak sekali dua kali. Irama-irama yang bersuara di dalam telinga anak itu seakan membuat Kenza kian tercabik-cabik. Ia tidak merintihdan ia tidak meraung atas rasa sakit yang mampir. Tetapi salah satu putra bumi kota hujan itu menangis. Menitikkan air matanya diam-diam tanpa isakan lirih.

Dan dalam nestapanya detik itu, Kenza tidak sadar ada bunyi yang berderit. Ada yang memperhatikan punggung kecilnya dari ambang pintu, menatap dengan tatap kosong bagaimana anak itu menyembunyikan rasa sakitnya dengan apik sekali. Kali ini, Bian akan memberikan Kenza ruang pada dirinya sendiri. Untuk sebentar Bian tidak akan melangkah masuk dan bertanya bagaimana perasaan anak itu sebetulnya tanpa ada hal yang ditutupi.

Tetapi satu hal yang harus tahu, bahwa Kenza tidak merasakan sakit sendirian. Sebab di tempatnya berdiri, Bian pun mati-matian menahan sesak di dada yang datang menikam, juga menenggelamkan Papa kepada perasaan bersalah yang dalam.

"Maafin, Papa ...."

🌧🌧🌧

Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupan sebenarnya seorang Sean Renanza. Juga tidak ada yang tahu bagaimana Sean hidup di masa lalunya, seperti apa pemuda itu terperangkap di dalam banyak tanda tanya perihal keluarga. Dari kecil hingga tumbuh perlahan menuju dewasa, Sean berusaha menyembunyikan apik kehidupan yang ia jalani dari orang-orang di lingkungannya. Yang mereka tahu, Sean adalah makhluk Tuhan nyaris sempurna tanpa cela. Mempunyai ayah yang namanya dikenal di mana-mana, tapi tidak ada seorang pun yang berani menggali lebih dalam tentang di mana Mama Sean berada. Bahkan seorang Nando Sarloka yang menjadi teman Sean dari zaman bercelana merah hingga SMA, tidak banyak yang diketahuinya tentang seluk beluk keluarga bermarga Renanza.

Waiting For Mom | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang