Tidak ada yang berbeda dari pagi sebelumnya di kota kecil Bogor dan seluruh hiruk-pikuk yang ada. Ketika baskara timbul malu-malu dari timur bentala, makhluk-makhluk bumi mulai mengembara, suara kokok ayam bersanding deru motor dipanaskan dari tetangga sebelah yang mulai menggema, dan aroma sarapan yang menguar dari lantai bawah selalu menjadi hal-hal pertama yang menyambut Sean setiap terjaga dari tidurnya. Seperti biasa pula, di pukul enam pagi lelaki pemilik sepasang dimple itu sudah siap mengawali harinya dengan agenda pertama yaitu berangkat ke sekolah.
Di depan kaca kaki jenjang anak sulung itu berdiri tegak. Mengamati wajahnya lamat-lamat, memberikan sedikit bedak dan merapikan rambut yang semula teracak-acak. Aroma parfum yang disemprotkan sedikit ke baju menambah daya tarik Sean nan sangat memikat. Usai dari kaca, Sean mengalihkan netra kepada jam digital yang terletak di atas meja belajarnya. Kemudian segera melangkah dari sana, menapaki lantai hingga sepasang penopang daksa itu sampai di kamar si bungsu Renanza. Apalagi tujuan Sean jika tidak untuk membangunkan Kenza yang dapat dipastikan masih dalam gulungan selimut tebal dan anak itu betah di posisinya?
Kan, benar apa yang Sean duga. Tepat ketika ia masuk ke dalam ruangan dominan bercat abu-abu tua itu, membukakan jendela dan menyingsingkan gorden yang terpasang di sana, Kenza masih nyenyak dalam tidurnya. Lantas detik kemudian Sean melangkah ke tepi ranjang dan duduk di tepi tempat tidur dekat dengan Kenza yang masih mendengkur halus dengan posisi seluruh tubuhnya tertutup, hanya tertinggal kepala menyembul dari selimut. Mulut kecil sang adik yang sedikit menganga tanpa sadar membuat Sean menciptakan garis tipis di sudut bibir. Kenza benar-benar terlihat sangat manis. Tidak kalah dengan rasa gulali.
Tolong, jangan sampai jatuh hati kepada si adik!
"Adek, bangun." Akhirnya Sean mengeluarkan suara, memecah hening yang sempat ada. Ia sentuh lembut helai surai hitam Kenza, harap-harap dengan begitu adiknya segera terjaga. Namun apanya yang terjaga? Tuan Desember itu justru semakin menaikkan selimutnya hingga menutup kepala, tetapi dengan segera Sean menurunkan kembali selimut hitam itu dan larik suaranya kembali terdengar di telinga.
"Pakai selimut jangan sampai nutup kepala. Ntar sesek jadinya." Kali ini nadanya kembali datar, serupa dengan ekspresi biasa yang selalu terpapar. "Bangun. Perlu gue siram pakai air atau gue seret lo ke kamar mandi biar mau bangun, Kenza?"
Alih-alih segera bangun, Kenza memilih membuka matanya sejenak kemudian kembali tidur. Udara dingin dan aroma hujan semalam seolah menarik Kenza untuk betah dalam menutup mata dan kembali melanjutkan mimpinya yang sempat terjeda dalam bertemu Tzuyu Twice--sang idola.
"Bangun, Kenza! Lo budek apa gimana, hah?"
"Lima menit lagi, Kakak ... ish!"
"Bangun gue bilang!"
"Mbak Tzuyu minta nomer WA gue, hehe."
"Gila lo."
Sean benar-benar kehabisan batas sabar dan akal. Bagaimana bisa adiknya itu berbicara dengan mata tertutup, sembari terkekeh geli? Ah, si Setan Manis pasti membayangkan Mbak Tzuyu menyodorkan ponselnya kepada Kenza dan berakhir saling bertukar nomor ponsel bersama. Gila saja! Memangnya idol Korea memakai WA?!
"Bangun!"
Pekikan dari Sean lantas mengundang kedatangan Bian. Lelaki berjas hitam dan dilapisi celemek dari luar itu tahu-tahu saja sudah ada di kamar. Ia duduk ke sisi yang berlawanan dari Sean, mengusap-usap rambut gelap Kenza ke belakang, dan sesekali menjatuhi lekuk wajah anaknya dengan kecupan.
"Adek, bangun,"
Di balik lingkar netranya yang masih tertutup rapat, Kenza tahu bahwa suara yang teramat lembut ini bukanlah suara Sean. Melainkan panggilan lembut dari Papa yang berupa menarik putranya agar segera membuka mata. Tapi demi apa pun, Kenza malas sekali bangun! Jum'at pagi berteman udara dingin seperti ini enaknya tidur dan setia kepada bayang-bayang Mbak Tzuyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Mom | END
Fiksi RemajaKatanya, menunggu adalah perihal kesabaran dan waktu. Menunggu adalah tentang bagaimana sejatinya kita menginginkan sesuatu. Seperti mereka yang menunggu seorang ibu. Menanti sepasang hasta indah itu agar dapat memberikan peluk. "Karena setiap rint...