Ada sepasang langkah beralas sepatu yang terajut di atas tanah merah bersanding abu-abunya kumpulan payoda di atas sana. Ayunan kaki itu diiringi oleh kicauan burung-burung kenari si pemilik kapak sayap nan megah, juga berteman oleh baskara yang perlahan-lahan berpulang dari singgasana menuju sebelah barat bentala. Gugurnya bunga-bunga kertas yang tertanam kokoh di ujung tempat pemakaman kota turut andil dalam menyambut salah satu anak bumi yang datang seorang diri tanpa ditemani siapa-siapa.
Dan sapa adalah hal pertama yang disenandungkan ketika tapak kaki berhenti di tepi tempat tidur abadi, kemudian daksa terduduk di sana sembari mengusap lembut batu nisan yang tertancap kokoh dengan ukiran nama yang telah melebur membawa seorang jiwa mati.
Tatap nanar dari pemuda itu menerawang ke depan bersama pekat hitamnya yang sangat jelas masih tersirat rasa kehilangan. Ada jutaan bulir tirta yang menggumpal di kelopak netra, namun ia pertahankan untuk tidak jatuh membasahi lekuk wajah. Larik suara tangisnya ia tahan sekuat tenaga, walaupun kerongkongan di dalam sana seolah meminta agar anak laki-laki itu berkenan memutuskan sesak di dalam dada.
Cukup lama ia terdiam tanpa kata, mempersilahkan waktu kian merangkak maju mengikis habis petang pada cakrawala hingga sepi di sana pecah ketika bait-bait aksara yang sudah disusun rapi itu terucap lewat belah bibir oleh si anak nestapa.
"Assalamualaikum, gue dateng lagi. Maaf, baru sempet bertamu sekarang." Ayat katanya terucap begitu sempurna bagaikan senandikan yang tak menerima balasan apa-apa dari si lawan bicara. "Fal, kabar lo gimana? Baik-baik aja, kan, ya? Kalau gue di sini ... gue baik-baik aja." katanya, memberi lanjutkan kata yang sempat terjeda.
"Udah satu tahun, tapi gue masih inget semuanya. Gue masih inget di mana hari lo pergi dan gue dituntut salah atas kepergian lo. Iya ... gue, gue memang bersalah. Gue penghancur semuanya. Maaf,"
Dan sekuat apa pun makhluk bumi itu berusaha untuk membangun dinding tak kasat mata agar terlihat kuat seakan tidak punya kesakitan apa-apa, semesta selalu punya cara untuk mematahkannya. Membuat genangan air mata itu tetap jatuh tanpa diminta, dan larik nada-nada ilu pilu pencekik jiwa terdengar di telinga.
Kepalanya tertimbun di atas tempurung lutut yang dijadikan penopang, meredam tangis di sana agar suaranya tidak terlontar lebih kencang. Sialan. Semakin ia tahan, yang ada semakin menyakitkan. Maka, atas keinginan hati yang terus mengemis tuk melepas semua sesak yang terkekang, anak itu memilih menangis hingga sesenggukan. Diiringi potongan-potongan kata yang yang terucap tersenggal-senggal.
"Gue capek, capek banget. Tolong, ya, kalau lo butuh temen di sana ... jemput gue. Gue akan dateng, nemenin lo, seperti seharusnya kewajiban seorang temen untuk menemani satu sama lain."
🌧🌧🌧
Isak-isak kecil yang menggema berpadu dengan detak jarum jam bergerak ke angka satu berhasil menarik Bian dan Sean ke kesadaran dari gelapnya dunia tidur. Ayah dari dua anak yang duduk sembari menenggelamkan kepala di samping tangan Kenza nan ia genggam erat tanpa halangan infus itu seketika menegakkan kepala tatkala suara tangis menyapa telinga.
Jelas tertangkap oleh netra, bahwa sumber suara itu berasal dari Kenza yang masih enggan membuka mata. Sudut-sudut pupil hitam si bungsu Renanza berair, dibasahi oleh tirta yang jatuh tanpa diduga-duga. Lantas Papa beranjak dari duduknya, kemudian jemari kokoh yang selalu lembut usapannya itu mendarat menghapus jejak-jejak keringat di dahi dan menyeka air mata Kenza yang terjatuh tadi. Sesekali mengusap dada sang anak yang tempo detakannya tak karuan, diiringi bisik-bisik menenangkan.
"Kenza sayang ... bangun, ini Papa. Papa Bian."
Bak sebuah mantra, kalimat yang Papa tuturkan dengan nada selembut sutra mampu menarik Kenza dari mimpi buruk yang ia singgahi sesaat. Potongan-potongan kisah yang telah lewat itu kembali melemparkan Kenza ke dalam lubang hitam pencekik jiwa begitu erat. Dada anak itu sesak, mengingat bagaimana sebuah dialog tanpa jawab ia tuturkan di bawah hamparan nabastala berwarna abu-abu yang sangat pekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Mom | END
Ficção AdolescenteKatanya, menunggu adalah perihal kesabaran dan waktu. Menunggu adalah tentang bagaimana sejatinya kita menginginkan sesuatu. Seperti mereka yang menunggu seorang ibu. Menanti sepasang hasta indah itu agar dapat memberikan peluk. "Karena setiap rint...