Enam belas tahun lalu, Bian pernah merasakan bagaimana sakitnya kehilangan. Pria berwibawa dengan usia 38 tahun itu pernah ditimbun oleh air mata yang berasal dari elegi perpisahan. Di waktu yang bersamaan, Bian juga pernah rasanya ingin mencaci maki semesta ketika kehadiran wanita yang dulu ia titipkan sebuah perasaan cinta sangat dalam, justru dibuang begitu saja pada suatu malam.
Bian pernah bertanya-tanya, kenapa dari sekian banyaknya pasangan di muka bumi ini, harus ia dan sang wanita pujaan hati yang berpisah? Kenapa dari ribuan rumah tangga di alam raya, harus rumah tangga yang ia bangun sedemikian rupa dengan pondasi cinta begitu kokoh justru patah tanpa rupa? Sakitnya bukan main, ketika di hadapkan dengan satu alasan pisah yang menurut Bian kala itu tidak logika.
Namun, seiring semesta menuntun Bian kian dewasa, lelaki itu paham ... bahwa setiap jumpa pasti ada kata pisah. Setiap cerita punya ujungnya, dan tiap-tiap perasaan tak bisa dipaksa.
Dengan perpisahan yang meremukkan kepingan hati itu, Bian sempat merasakan bagaimana takdir bekerja dan mengombang-ambingkannya dalam kehidupan. Garis matanya ketika tersenyum pernah memudar, larik suara tawa kepala keluarga itu sempat hilang, sebelum akhirnya semesta iba dan memberikan Bian obat untuk berdamai dengan keadaan.
Bian, lelaki bermarga Renanza yang sudah belajar damai dengan luka-luka membasah itu diberi garis takdir untuk hidup tanpa pasangan. Lebih dari itu, Bian pun sudah menutup hati untuk siapa saja, mengunci erat-erat kotak hati yang ia punya, hingga wanita mana saja tidak masuk walau berulang kali mencoba. Terbukti, selama 16 warsa, pria itu nyaman dengan posisinya dan hidup hanya bersama Sean juga Kenza.
Perihal Sean dan Kenza, Bian kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan mereka. Kedua anak itu adalah gambaran obat untuk seorang ayah. Mengobati Bian yang semula diselimuti pilu membiru, dan melahirkan kembali senyum Bian yang sempat menjadi bayang-bayang semu. Jiwa mereka menghadirkan nyaman pada empat tiang satu atap yang disebut rumah, walau sebelumnya tempat itu pernah tidak memiliki arti apa-apa.
Tetapi tak bisa berbohong pula, terkadang rindu datang menggorogoti dada. Menenggelamkan Bian dalam muara jiwa yang tidak bisa diajak berjumpa. Karena itu, Kenza dan Bian tidak ada bedanya. Sama-sama kerap merindu kepada satu sosok wanita. Sama-sama membayangkan sosok itu kala jutaan ton air jatuh dari hamparan nabastala.
Dan malam ini, sama seperti malam sebelumnya. Berdiri di dekat jendela, menatap temaram lampu-lampu kota luar sana, seraya dipeluk dingin yang merambat ke daksa disaksikan rintik air sore tadi yang sesekali membasahi kaca bening pada kamar Bian Renanza. Jua, membiarkan diri hanyut dalam pikiran yang mengalir jauh mengingat sepasang hati yang memilih berpisah.
"Papa," Hingga suara decitan pintu terbuka dan larik kata bernada selembut sutra mengusik indra, Bian mengalihkan netra. Ternyata anak bungsunya tak kunjung terlelap padahal bulan sudah cukup meninggi di kaki langit. Sedetik kemudian, Bian pun turut melangkahkan kaki, berjalan pada Kenza yang berkaos lengan panjang berwarna putih.
"Kenza kenapa belum tidur?"
"Dingin. Pengen dipeluk Papa. Boleh?"
Bian terkekeh sejenak, kemudian melanjutkan. "Kenapa minta izin, hm? Sini," Lantas dengan hati yang mengahangat, Kenza masuk ke dalam rentangan kedua tangan Papa yang ingin menyambutnya di tepi tempat tidur. Ia dekap bahu lebar ayah yang terlihat kokoh itu, dan berakhir Kenza yang menenggelamkan wajah di dada Papa, diiringi usapan lembut melalui jemari-jemari Bian pada surai hitam Kenza.
Sisi kamar bernuansa abu-abu itu menjadi saksi bisu ketika Kenza hanyut dalam satu peluk. Peluk dari Papa, yang tangan kokohnya bagaikan tameng dan penopang Kenza yang siap jatuh kapan saja. Usapan lembut jari-jarinya begitu bermakna, yang selalu saja berhasil membuat Kenza lupa jika ia sedang dililit luka. Cukup lama Kenza dan Papa saling menikmati waktu yang ada, hingga suara putra bungsunya mengambil alih semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Mom | END
Novela JuvenilKatanya, menunggu adalah perihal kesabaran dan waktu. Menunggu adalah tentang bagaimana sejatinya kita menginginkan sesuatu. Seperti mereka yang menunggu seorang ibu. Menanti sepasang hasta indah itu agar dapat memberikan peluk. "Karena setiap rint...