Kenza masih ingat, tahun lalu, Papa pernah bilang kalau hidup itu perihal merelakan yang pergi dan menyambut yang datang. Katanya, manusia itu sudah lumrah untuk hanya sekedar mampir di kehidupan. Karena di dunia ini tidak ada yang kekal. Karena sebetulanya, dunia hanya tempat persinggahan sebentar, yang kemudian cepat atau lambat pasti juga akan pulang. Ke rumah sesungguhnya. Tuhan.
Itu nasehat dari Papa tahun lalu, saat Kenza berada di satu posisi tenggelam dalam kesakitan yang menghantam.
Lantas Kenza juga tidak lupa, saat ia pernah menangis sendirian dalam kubangan lampu gelap yang menyelimuti di tengah malam, Papa datang membuka pintunya. Naik ke atas tempat tidur, tanpa bertanya kenapa putra bungsunya menangis, Papa seolah sudah mengerti. Kemudian ia segera memeluk Kenza yang menumpahkan air matanya di atas tumpuan lutut--sedang memeluk diri sendiri. Dengan rasa dekapan yang selalu nyaman, hangat, dan tenang, Papa membisikkan rentetan kalimat yang terkekang di kerongkongan kemudian merambat hingga ke ujung lidah, ia berkata,
"Nak, di dunia ini, banyak manusia yang mampu berteman dengan sesama manusia. Memiliki banyak teman, entah itu seusia, di atasnya, atau mungkin di bawahnya. Tetapi nggak jarang bahwa masih ada manusia yang nggak mampu, atau nggak bisa, atau bahkan belum bisa untuk berteman dengan diri sendiri. Belum mengenal jika ia juga sebenarnya terluka, dia sakit, dia nggak benar-benar bahagia. Jadi, cobalah untuk mengenal dirimu sendiri. Kenali dan pahami beragam rasa sakit yang datang dari macam-macam bentuk itu. Cobalah untuk memahami dirimu sendiri atas kesalahan-kesalahan yang sepenuhnya bukan karena kamu penyebabnya. Kamu juga terluka, kamu juga hancur, jadi damailah dengan luka-luka itu. Sakit yang sekarang, cepat atau lambatnya akan membuatmu tumbuh, kemudian sembuh. Pelan-pelan, ya. Jangan merasa bersalah lagi. Kejadian buruk ini bukan salahmu."
Sebelumnya, tidak pernah terbayangkan oleh Kenza bahwa ia akan kehilangan sebanyak dua kali. Selain Mama, anak itu diberi kejutan dari Tuhan bahwa ia akan dihadapkan oleh lepasnya seseorang yang pernah ia genggam. Putusnya tali pertemanan yang sempat ia rasakan, membuat tuan nelangsa itu tersisa hanya sendirian. Impian yang dulu pernah ia semogakan agar kelak nanti saat waktu menuntunnya perlahan kian dewasa, ia akan tetap tumbuh bersama mereka di masa depan. Dua orang lelaki yang pernah sedekat itu dengan Kenza, tetapi semesta memaksa ketiganya berpisah melalui cara yang tidak pernah terbayangkan; yaitu kematian.
Namun, nampaknya benar seperti kata orang. Bahwa Tuhan mengambil apa yang semula dipunya, karena untuk menggantinya dengan yang lebih baik. Jadi, percaya atau tidak, terima atau tidak, kehilangan selamanya bukanlah hal yang terlampau buruk, walau sakitnya berpisah itu benar-benar menusuk relung--terasa pilu sembilu membiru. Dan dunia yang dipijak seakan runtuh.
Kenza pernah mengemis kepada Tuhan, dengan suara rintihan dan isakan tertahan di tengah malam, ia meminta agar pemilik alam tidak membiarkannya sendirian. Ia tidak ingin kesepian, walaupun tumbuh dan hidup bersama Papa juga Kak Sean. Kenza ingin, hidupnya didampingi oleh teman. Dan kalimat yang pernah terdengar di telinga Kenza berbunyi patah satu tumbuh seribu, itu, benar-benar kenyataan. Ia sempat kehilangan teman, sebelum digantikan oleh dua orang laki-laki yang hingga detik ini menjadi kawan seiringan; Sandi dan Tian.
"Lo nggak lagi mikirin yang jelek-jelek, kan, Za? Sejelek mukanya Sandi."
Suara Tian adalah hal pertama yang menarik Kenza untuk kembali ke kesadarannya. Potongan-potongan ingatan lama yang sejenak tadi terlintas di kepala, menciptakan narasi sedikit panjang mengenai hidupnya di tahun lalu. Pada bulan November yang banyak menumpahkan air mata, musim hujannya yang menenggelamkan kepada rindu, juga lara yang tak berujung.
Pemuda jenaka yang jika tersenyum tenggelam matanya di kelopak netra, menyenggol siku Kenza. Membuat atensi kedua pria itu berjumpa. "Gue lagi ngebayangin kalau semisal cita-cita lo waktu lo kecil bakalan kenyataan. Kayak yang lo pernah bilang, lo pengen jadi mobil pemadam kebakaran. Bukan damkarnya. Emang bisa, ya, manusia jadi mobil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Mom | END
Genç KurguKatanya, menunggu adalah perihal kesabaran dan waktu. Menunggu adalah tentang bagaimana sejatinya kita menginginkan sesuatu. Seperti mereka yang menunggu seorang ibu. Menanti sepasang hasta indah itu agar dapat memberikan peluk. "Karena setiap rint...