Entah Oktober yang lagi bersedih atau Bogor sedang memusuhi bumi, mega hitam dalam bentuk gumpalan kapas di kaki nabastala sedang apik-apiknya menutupi matahari. Artinya, hari ini hujan lagi. Dengan gemercik air tak sederas kemarin tetapi cukup membasahi tanah kering dan membuat para penghuni kota berbondong-bondong menepi.
Ada janji yang Bian ciptakan sekitar satu jam yang lalu, sebelum hujan petang ini turun. Janji untuk bersua dengan temannya semasa SMA, dan pria itu memilih salah satu cafe di kota untuk menjadi latar mereka bertemu setelah sekian lama.
Di sudut cafe berteman dua gelas kopi--yang satu kopi milik Bian hampir tandas isinya--pria itu duduk termangu dengan tatapan hampa keluar melalui jendela yang diselimuti bulir-bulir tirta di balik kaca. Ada rasa kosong yang menggorogoti dada namun tersemarkan dengan hentakan musik diiringi rakit nada yang mengalun lembut di panggung sana. Lagi-lagi ini perihal perasaan nestapa. Perasaan yang sialnya selalu datang ketika hujan mengguyur bumantara.
Detak-detik waktu berlalu dalam suasana, menghanyutkan Bian dalam tatap kosong yang masih bertengger di netra. Di saat dingin yang terbentang semakin memeluk erat daksa, pria itu kembali meneguk kopi hitam miliknya hingga isi gelas itu benar-benar tandas dan tertinggal hanya ampas. Bersamaan dengan itu, Bian mengais kenangan-kenangan yang masih tertinggal. Berpikir, darimana semua luka ini berasal?
"Pisah. Aku mau kita cerai."
Kalimat itu sudah tertanam kuat di kepala dan Bian tidak sekali pun bisa melupakan rentetan kata yang pernah terucap dari ranum indah si wanita pilihan. Rangkai katanya bagai tertulis di kanvas kehidupan dengan tinta permanen yang tak akan hilang walau berjuta-juta kali dihapuskan. Ucapan yang pernah terucap dengan nada paling datar di suatu malam, yang menjadi titik mula datangnya kesakitan tanpa pemberitahuan. Lima penggal kata itu saja mampu membuat dunia Bian hancur berantakan.
Sampai ketika pintu kaca ruangan itu terbuka, menampilkan sepasang derap langkah yang menarik seluruh atensi Bian tanpa aba-aba. Lelaki itu Tara. Si pria jenaka yang dulunya kerap sekali memberikan ucapan-ucapan manis kebanyak wanita. Partner Bian ketika ia akan menjadi buaya darat dengan modal kata-kata yang buat sekarat. Dan ketika ayunan kaki Tara semakin mendekat, tuan yang terlihat rupawan dengan kemeja putih bersanding dasi hitam itu menarik kursi di hadapan Bian. Segera saja tatapan kosong ayah dua anak itu berubah, menjadi pupil yang punya warna. Berbinar seperti biasanya.
"Gue nggak telat, kan?"
Bian terkekeh sejenak. Ia sodorkan segelas kopi itu tepat di hadapan Tara, kemudian berucap. "Menurut lo orang yang disuruh dateng jam tiga tapi datengnya setengah empat, itu telat apa nggak?"
"Jam karet doang."
"Pinter banget sih bapak-bapak anak tiga ini. Btw, espresso cofenya, Tuan. Silahkan diminum. Hampir dingin soalnya daritadi udah gue pesenin. Atau mau ganti yang lain? Mau yang baru?"
"Cukup Bian. Gue terima apa aja yang lo pesen. Nggak peduli udah dingin apa hangat. And thankyou rupanya lo nggak lupa sama kopi favorite gue."
"Enggak bisa lupa gue."
"Kalau mantan bisa dilupain, nggak?"
Kalimat itu cukup membungkam Bian beberapa saat. Menciptakan jeda di antara mereka serta mempersilahkan suara hujan bersanding gemertak musik dari panggung memecahkan sunyi yang hinggap. Lantas Tara memutuskan meneguk kopi espresso yang kata Bian sudah mulai mendingin, dan dinding sunyi kembali dipecahkan dengan kekehan Tara yang mengudara.
"Nggak usah dijawab."
Bian turut menerbitkan seulas kurva tarikan manis di sudut bibirnya. Yang namanya Tara, selalu saja tahu bagaimana seorang Bian Renanza tanpa pria itu berujar lewat kata. Tara tahu arti tatapan kosong yang berusaha disembunyikan temannya itu lewat ekspresi wajah seakan semua baik-baik saja. Tara pun tahu kenapa Bian mengajaknya ke tempat ini, berbicara empat mata, walaupun Bian belum mengatakan topik obrolan apa yang mereka bawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Mom | END
Ficção AdolescenteKatanya, menunggu adalah perihal kesabaran dan waktu. Menunggu adalah tentang bagaimana sejatinya kita menginginkan sesuatu. Seperti mereka yang menunggu seorang ibu. Menanti sepasang hasta indah itu agar dapat memberikan peluk. "Karena setiap rint...