Sandi Nugraha, tuan Bogor di bentala Jawa itu pernah berpendapat jika ada yang lebih nyaman dari suasana pulang ke rumah dan lagu-lagu menenangkan jiwa milik Banda Neira, katanya selain dua hal itu adalah bagaimana ia menyukai sendirian. Sandi menyukai bagaimana ia memberikan ruang pada diri sendiri dan menghabiskan waktu dengan bacaan pada lembaran-lembaran buku tebal. Pemuda dengan gravitasi muka yang selalu tenang itu suka dengan hal-hal berbau kesunyian.
Tapi alih-alih dari situ, sepertinya Tuhan memang sudah merancang bagaimana Sandi disandingkan dengan teman-teman yang memiliki sifat bertolak belakang dengannya. Tidak terlampau buruk, Tian dan Kenza cukup mengisi bagaimana hari-hari Sandi yang selama ini berjalan biasa-biasa saja. Jarang sekali rasanya Sandi mengucapkan dengan bahasa bagaimana ia bersyukur mempunyai dua orang itu di dalam hidupnya. Bagaimana ia menaruh sejuta afeksi untuk mereka, semuanya ia simpan bak sebuah rahasia.
Banda Neira yang mengalun lembut di balik earphone dan juga suasana perpustakaan yang tenang adalah korelasi yang cukup menyenangkan. Sejak sepuluh menit lalu, playlist Sandi terus terputar seiiring ia menuliskan huruf demi huruf di atas buku bersama pena tinta hitam. Biasanya, tidak butuh waktu lama bagi Sandi untuk menuntaskan tugas yang diberikan. Tangannya selalu lancar, seperti dikomandoi oleh isi kepala untuk menulis jawaban. Namun untuk pagi ini, tenang yang mengisi di dalam bilik itu digantikan oleh gusar. Isi kepala Sandi tidak mampu fokus untuk mengerjakan tugas. Ada hal yang membuat ia tidak tenang, hati kecil yang terus memanggil-manggil nama Kenza dan Sandi seakan diperintahkan untuk meninggalkan perpustakaan.
Muak berperang dengan isi kepala, Sandi memutuskan untuk menyudahi kegiatannya. Tugas observasi suruhan Bu Mila belum sempat dituntaskan namun buku dan pena telah ia tutup dan dibiarkan begitu saja di atas meja. Tali earphone yang semula tersambung di telinga segera dicabut, dan musik indie yang mengalun berhenti tepat di penghujung lagu. Kini, Sandi akan membawa langkahnya ke kantin sekolah. Menemui Tian yang sedang dipastikan sedang menggoda Teh Ita, perempuan belum nikah-nikah walau usia hampir kepala tiga. Jelas-jelas rupa dan usia penjual gorengan itu selalu membuat Tian seperti ngebet ingin meminang si puan ditambah lagi gombalannya yang menurut Sandi sangat tidak berkelas.
"Teteh tau nggak kenapa bakwan identik sama bentuk bulat?"
Kan, dugaan Sandi tidak salah. Tian pasti menunda mengerjakan tugasnya, dan memilih untuk memerhatikan Teh Ita yang sibuk menggoreng bakwan. Ujung-ujungnya nanti tugas Tian bakalan Sandi juga yang mengerjakan. Kawan sialan, lebih sialnya lagi Sandi bisa sayang kepada si blangsak Tian.
"Teteh ndak tau, Tian."
"Ya kalau persegi, bakwanya pasti punya ujung, punya sudut juga. Kalau bulat, bentuknya pun sama kayak perasaan Tian ke Teteh. Nggak ada ujung sama sudutnya."
Teh Ita tahu bahwa gombalan itu sangatlah receh, bahkan unsur jenakanya entah ada di mana. Tapi tetap saja seperti ada tawa yang ingin ia lontarkan namun nona itu memilih untuk terkekeh kecil sembari mengiyakan. Menunggu Sandi juga--yang ia ketahui sedang berdiri di belakang Tian seperti memergoki pacar dengan selingkuhan--dan kehadirannya itu tidak disadari oleh si pemuda pemberi gombalan.
"Teh, Tian udah gombal. Sebagai bayaran gombalannya jangan lupa nutrisari jeruk sama bakwan 2 pakai saus, kayak biasa."
Meniriskan gorengannya, kemudian adonan bakwan tersebut dimasukkan lagi ke dalam belanga besar. "Lanang iki, gratis apanya, wong Teteh nyari duit. Bon kamu udah numpuk tau, Dek. Masa ganteng-ganteng gini, ngebon?"
"Hehe, biarin aja dulu numpuk, Teh. Ntar Tian bayaran pas nerima rapor tiap semester, biar kayak bayar UKT. Enggak Tian sih, yang bayar. Tapi Ibu bendahara di rumah."
"Gue bilangin nyokap kalau lo ngutang."
Terjingkat Tian, ia membalikkan tubuh dan mendapati Sandi ada di belakang. Lengkap dengan tatapan mengintimidasi milik Sandi yang tidak membuat Tian takut, melainkan anak itu nyengir lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Mom | END
Genç KurguKatanya, menunggu adalah perihal kesabaran dan waktu. Menunggu adalah tentang bagaimana sejatinya kita menginginkan sesuatu. Seperti mereka yang menunggu seorang ibu. Menanti sepasang hasta indah itu agar dapat memberikan peluk. "Karena setiap rint...