Bukan bulan Oktober namanya, kalau setiap petang tidak menjatuhkan berjutaan rintik air dari kaki nabastala. Jatuhnya tirta yang berlomba-lomba membasahi tanah membuat orang-orang meneduh di pinggiran kota. Pula riuhnya yang bergemuruh di atas atap rumah menghantarkan sebahagian raga untuk membungkus diri dalam gulungan selimut sembari menyumbat telinga dengan melodi-melodi penyejuk jiwa.
Namun, sangat berbeda dengan anak bumi berasma Kenza Renanza. Yang tersenyum bahagia ketika indranya menangkap rintik air dari luar sana, yang segera bergegas membawa langkah pada kubikel balkon kamar agar dapat menyaksikan bagaimana angkasa keabu-abuan menjatuhkan air dari gelapnya awan. Sebuah kebiasaan yang telah menjadi candu dan tidak dapat dihilangkan. Kalau kata Kenza ... "Hujan itu simbol rindu." Rindu kepada satu pertemuan yang belum pernah ia rasakan.
Pada suatu titik, Kenza pernah menitipkan harapan kepada langit Bogor yang hitam memulam. Bagaimana mendung angkasa sana agar dapat memberikannya kehidupan hingga di masa depan. Atau, Kenza juga akan menaruh pinta kepada naungan awang-awang, tepat pada saat turun hujan. Harapan berupa, agar gulungan rindu dapat berubah wujud jadi temu, dan ia tak lagi menunggu.
Wujud bulatnya baskara tidak lagi nampak merajai bumantara. Bias jingga juga tidak tertangkap oleh netra. Yang Kenza lihat di balkon kamarnya, hanyalah guyuran hujan yang tak kunjung mereda. Ah, kan, Kenza jadi teringat apa kata Papa. Rangkai klausa yang dari dulu tak pernah ia lupa.
"Kenza, kamu itu lahir saat hujan datang. Jadi ... kalau kamu kangen Mama, kamu cukup lihat hujan di luar sana. Papa yakin, setelah itu, rindu yang kamu rasakan pasti terbayar."
Kilas balik kalimat klasik yang dulu sering Bian ucapkan pada putra bungsunya selalu mengingatkan Kenza kepada wanita yang selama ini ia tunggu kehadirannya. Pada Mama yang belum pernah Kenza lihat kecantikannya, pada Mama yang belum pernah ia rasakan bagaimana lembut sentuhan jemarinya, dan pada Mama ... yang belum pernah Kenza rasakan sehangat apa daksa itu jika ia dekap walau sekali saja.
Hitungan menit anak kelahiran Desember itu terbenam dalam mundurnya ingatan. Hingga sang anika yang melambai-lambai memainkan surai hitam itu menarik Kenza kembali ke kesadaran. Tidak tahan ingin segera merasakan seberapa dingin rinai air itu, lantas telapak tangan Kenza terangkat untuk merasakan air bening yang turun. Binar matanya tertutup, merasakan dingin yang merambat perlahan hingga ke relung paling dalam. Rasanya, tenang dan menyesekkan datang dalam waktu bersamaan.
Tenang sebab dinginnya menyenjukkan, dan menyesakkan ketika kembali terlempar kepada ingatan akan Mama yang tak kunjung hilang.
Lantas ia bergumam, "Kangen Mama,"
Detik kemudian telapak tangan itu ia tarik kembali. Sementara pegangannya pada pagar balkon kamar semakin menguat di jemari. Kenza tidak berbohong, bahwa ia ingin sekali bermain-main di bawah guyuran air. Mandi hujan sembari melompat ke sana ke mari, sebagai bentuk pelarian dari menyalamatkan diri yang ditikam rindu setiap hari.
"Gini nih kalau penyakitan. Mau mandi hujan aja susah."
Namun, biarkan Kenza hari ini bebas dari rantai pengikat diri. Persetan dengan apa yang akan terjadi nanti, anak manis itu benar-benar bertekad pada keinginannya sendiri. Lantas, segera kakinya beranjak dari tempat yang semula ia pijak. Kemudian berlari brutal membuka pintu rumah yang semula tertutup rapat, hingga langkah anak itu terhenti tepat di depan halaman rumah yang sudah dibasahi oleh air.
Keinginan anak kota hujan itu tak terelakkan. Sepasang hasta terentangkan menampung air dari awang-awang sembari tersenyum ketika kepala menengadah ke awan. Membiarkan tetesan-tetesan tirta membasuh seluruh lekuk muka tanpa peduli akan kedinginan. Kenza hanya perlu seperti ini sejenak, sebagai tanda seolah yang ia dekap sekarang bukanlah dingin yang merambat, tetapi seorang ibu yang tak pernah datang untuk pulang. Hal tersebut ia rasakan beberapa saat, hingga pekikan dari dalam rumah dan tubuh yang tegak berdiri di ambang pintu sembari berkacak pinggang mampu membuat Kenza tak berkutik di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting For Mom | END
Novela JuvenilKatanya, menunggu adalah perihal kesabaran dan waktu. Menunggu adalah tentang bagaimana sejatinya kita menginginkan sesuatu. Seperti mereka yang menunggu seorang ibu. Menanti sepasang hasta indah itu agar dapat memberikan peluk. "Karena setiap rint...