03. Tertawa Sekarang, Nangis Belakangan

2.2K 256 9
                                    

Perihal ketakutan, Bian pun merasakan hal yang sama. Tidak ada yang lain Bian rasakan saat di tengah-tengah sibuknya ia bekerja, berhadapan di depan layar laptop dalam sepetak ruangan kantor, deringan ponsel pria itu menggema diiringi nama putra sulungnya tertera di layar menyala. Dan tidak butuh waktu lama bagi Bian untuk segera menempelkan benda panjang itu ke daun telinga, lantas sedetik kemudian larik kata Sean terdengar dari seberang sana. Petang itu juga, rasanya otak si pria yang hidup tanpa pendamping berhenti mencerna semua ketika Sean mengatakan bahwa Kenza sulit menghela nafas hingga berakhir dibawa ke rumah sakit kota. Sebuah kabar yang tidak terdengar asing, namun mampu membuat hati teriris--kesekian kali.

Awalnya, cukup lama lelaki asli darah Jawa itu terdiam saat rangkai suara Sean mengisi dari seberang. Hingga Sean memanggil Papa berkali-kali, baru lah Bian segera membawa kaki jenjangnya melangkah pergi. Meninggalkan layar laptop yang masih menyala dan pekerjaan-pekerjaan di dalamnya. Detik itu Bian merasa bahwa tidak ada lagi yang dipedulikan olehnya selain bagaimana keadaan Sean, terlebih Kenza. Demi segera bertemu kedua anaknya, Papa tidak peduli terhadap omelan para pendendara lain saat mobil hitam yang ia bawa membelah jalanan secepat kilatan petir hingga roda-roda itu berhenti di tempat parkir rumah sakit.

Pun tidak ada bedanya jua, tatkala langkah Bian menggema sepanjang koridor tempat bernuansa putih. Mengabaikan tatapan orang-orang, alih-alih pria kelahiran Mei itu hanya terfokus agar ia segera sampai di ruangan yang dikatakan Sean lewat komunikasi jarak jauh tadi. Hingga dua menit termakan habis, dada yang naik turun dan nafas seolah tercekat itu terhenti di depan pintu bernomor 201. Sebuah pintu panjang yang di tengah-tengahnya terdapat kaca persegi tembus pandang. Di sanalah, di tempat kaki Bian berpijak, netranya merekam apik Kenza yang terbaring di bangsal dan Sean yang menenggelamkan kepala di atas tumpuan tangannya pada ranjang.

Berdirinya Papa di sana hanya dalam rentang waktu satu menit. Cukup sebentar, sebelum akhirnya Papa memutuskan untuk mendorong daun pintu yang menghasilkan bunyi decitan. Dan tepat ketika rajut ayunan kakinya masuk ke dalam, lantas yang pertama kali menyambut hadirnya pria itu adalah bau obat-obatan. Dingin AC yang memeluk raga lelahnya, dan sebuah infus yang tergantung mengalir ke punggung tangan kiri Kenza.

Melihat itu, coba katakan pada Bian, apa yang lebih sakit daripada menyaksikan anak yang selama ini ia jaga mati-matian, yang ia takutkan, kembali terbaring dengan netra tertutup dan sebuah masker oksigen yang menyumbat dua lubang hidung anak manis itu? Dan melihat bagaimana Sean yang masih menenggelamkan wajah di atas ranjang sembari menggenggam erat ruas-ruas jemari Kenza, seolah menggambarkan bahwa laki-laki itu sedang meremat kencang dunianya.

Mendekat pada kursi yang diduduki Sean, kemudian telapak tangan kanan Papa terangkat untuk mengusap lembut surai hitam legam si sulung Renanza. Ia usap bagai menghantarkan sejuta afeksi kepada Sean, hingga pemuda itu tersentak dan mengalihkan netra kepada Papa yang ternyata sudah ada di sampingnya. Kemudian suara serak pelan Sean segera mengisi gendang telinga.

"Pa," Yang Bian tahu, ketika dua huruf itu terucap melalui ranum si sulung, di balik nada pelannya seperti ada yang tertahan di sana. Sebuah getar dari bibir yang diiringi binar mata terlihat memerah. Jika sudah seperti ini, Bian sadar, bahwa ada yang tidak baik-baik saja dalam sekotak perasaan anaknya. Perasaan yang dapat terkontak kepada Papa, walau Sean tidak berucap apa-apa.

Maka, karena hati yang sedang terluka, Papa membawa pelan kedua tangan anak itu untuk melingkar di pinggangnya. Ia biarkan Sean yang masih terduduk untuk menenggelamkan muka di sekitar perut Papa, seraya mengusap kembali helai rambut Sean Renanza. Beberapa detik Sean tak melontarkan kata, sebab ia hanya butuh peluk dari Papa yang usap tangannya dapat menenangkan jiwa. Hingga larik suara Papa menyapu telinga, memecah suasana sunyi di antara mereka.

"Jangan takut, Papa di sini." katanya, yang memulai cakap-cakap di sana.

"Maaf, Pa ...."

"Maaf untuk apa?"

Waiting For Mom | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang