13. Mama, Hold On My Hand. Don't Leave Me (Again)

1.6K 182 21
                                    

Derit pintu bilik kecil yang menghasilkan bunyi dentuman-dentuman musik kedap suara itu terbuka. Langkah kakinya terajut di atas lantai, menapaki satu per satu keramik menuju satu meja di sudut ruangan cafe tempat biasa mereka berjumpa. Di sini, Ranin datang untuk menuntaskan pertemuannya bersama Bian yang sekarang pria itu sedang duduk di kursi dengan posisi menghadap ke jendela. Perjanjian untuk bersua yang dirancang beberapa menit lalu melalui ketikan pesan antara mereka, dan Ranin tidak mengetahui sama sekali nanti keduanya akan membahas topik obrolan apa.

Ayunan demi ayunan kaki bergerak hingga sampai di hadapan Bian, Ranin mendudukkan diri. Di atas meja bulat dengan beralas taplak sederhana itu sudah terhidang dua menu makan siang dan dua gelas kopi. Makanan yang tersaji dengan tatanan sempurna itu masih tidak tersentuh di atas piring. Sedangkan satu gelas kopi milik Bian sudah terteguk setengah, dan satu gelas lagi kopi milik Ranin yang belum diminum sama sekali.

Lantunan-lantunan melodi bertebangan yang berasal dari jahitan nada penyanyi cafe di atas panggung seperti tidak terdengar. Fokus Bian buyar pada sekitar, satu-satunya objek yang ia tangkap adalah Ranin yang datang dan sekarang mereka sedang duduk berhadapan. Perempuan itu nampak menawan, dengan rambut lurusnya yang terikat setengah dan setengah lagi tergirai di belakang, nona yang menjadi satu-satunya membuat Bian jatuh cinta itu seperti tidak pernah dimakan usia. Ranin masih tetap menjadi wanitanya yang begitu sempurna walau sekarang sudah dimiliki lain pria.

Mata secerah air jernih yang menatap Bian dengan lekuk datar itu juga menyadarkannya bahwa lingkar netra milik Ranin tidak dapat ia tatap terlalu lama. Lantas Bian berusaha menarik fokusnya yang sempat berkelana, kemudian memutuskan jeda yang sempat membeku di antara mereka. Dahulu, di dekat Ranin, Bian dapat menciptakan topik apa saja. Hal-hal kecil yang menjadi obrolan sederhana keduanya. Merajut tawa hingga mereka seakan lupa bahwa semesta juga sering bercanda. Namun kini, Bian seperti kehabisan kata-kata. Mati-matian ia memaksakan diri agar dapat bersuara, membuka dialog setelah sekian lama.

"Minum dulu, Ran."

Bian tidak pernah lupa minuman apa kesukaan Ranin dan makanan apa yang menjadi menu favorit sang nona. Tapi pertama kalinya sejak perpisahan memutus kontak keduanya, salah satu dari mereka hilang entah ke mana, dan kemudian alur hidup yang dirancang sedemikian rupa membuat mereka kembali berjumpa, Bian juga tidak menduga bahwa apa yang ia pesankan di atas meja tidak Ranin sentuh sedikit saja. Ia menganggukkan kepala, namun gelas kopi itu masih berdiri kokoh di hadapannya. Tetapi tidak apa, Bian tetap mencoba menarik senyumnya, bersikap tenang dan biasa saja.

"Oh, iya, tadi waktu di chat, aku bilang kalau kita ketemu ini cuma sampai 10 menit, kan, ya? Tapi kayaknya ini bakalan lebih dari 10 menit. Nggak apa-apa, ya, lebih? Jangan kabur lagi. Makan siangnya di sini saja. Aku yang bayar, tenang."

Ingin Ranin mendecih dan mengumpat kepada pria di hadapannya, perihal waktu yang menurut Ranin seperti terbuang jika berhadapan dengan Bian. Tetapi entah perintah dari mana yang datang, Ranin seakan dipaksa dirinya sendiri untuk tetap diam. Tidak mengeluarkan kaki dari bawah meja apalagi sampai pergi ke luar.

"Udah lama banget, ya, kita nggak duduk berdua kayak gini." Sangat. Sangat lama sekali, sampai samar-samar Bian tidak dapat mengingat kapan terakhir kali mereka duduk berhadapan seperti ini.

"Gimana hidup, Ran?"

"Nggak ngotak."

"Apanya yang nggak ngotak?"

"Porsi bahagianya. Terlalu berlebihan."

Bias mata Ranin tidak terbaca. Puan kelahiran asli tanah Jawa itu berbicara dengan nada yang ringan, namun matanya seperti berbicara dengan kata yang berlawanan. Garis-garis wajahnya membuat bimbang, namun karena kekehannya yang tiba-tiba terdengar pelan, Bian berusaha percaya bahwa Ranin melontarkan ucapannya tidak dengan kebohongan. Bagaimana pun usainya mereka, Bian selalu berharap bahwa wanita yang pernah menjadi pelengkap hidupnya itu benar-benar dililit kebahagian.

Waiting For Mom | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang