CH12: Mianhae Acceptable

602 88 46
                                    

Author Note:

Turut berduka cita sedalam-dalamnya atas tradegi Sriwijaya Air SJ-182. Kita semua mengira 2021 will be better year for us. Sekali lagi, manusia hanya berencana dan Tuhan yang berkehendak.

Untuk kalian yang orang tua, kakek, nenek, abang, adik, sepupu, om, tante, teman, sahabat, kolega, guru, ustad, ustadzah, ikut dipenerbangan itu, I also feel the pain. Loosing someone you loved most never be easy. I've already experience it when my father passed away in 2019. We're all strong human being. And I believe in that.

Semoga Sriwijaya Air SJ-182 menjadi penutup penerbangan Tanah Air berduka. Al-Fatiha untuk pilot, co pilot, kru, dan semua penumpang.

*****

Pukul sembilan malam asisten pribadiku meminta agar aku segera pergi ke kantor manajemen Soop. Saat mendapatkan kabar itu, aku tidak sempat bertanya ada apa. Langsung melompat berganti pakaian. Mengambil pakaian tebal, masker, dan kaca mata hitam. Mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi setibanya aku di sana. Beberapa saat yang lalu, aku mengirimkan buket bunga untuk Suzy. Melalui asisten pribadiku dan memintanya bekerja sama dengan seseorang yang bisa merahasiakan hal ini.

Walaupun aku tahu itu sangat sulit. Mengirimkan bunga tanpa diketahui orang lain, apalagi aku mendapat info Suzy sedang latihan vokal di studio. Ada banyak orang di sana, satu dua pasti membocorkan hal ini. Hingga aku dipanggil ke kantor di malam hari. Setidaknya itulah yang bisa aku simpulkan.

"Dimana?" Setibanya di kantor manajemen Soop, aku menghubungi asisten pribadiku.

Ia menyebutkan tempatnya. Aku bergegas pergi ke sana. Lobi nyaris kosong. Kendati demikian, aku tetap menggunakan kaca mata hitam. Berjaga-jaga. 

Aku mengatur pernapasanku agar kembali normal setibanya di depan ruang pertemuan usai berlarian di lorong. Setelah di rasa baik, aku masuk ke dalam. Dan surprise! Seluruh staf yang menangani PR stunt-ku dan Suzy ada di sana. Duduk menunggu kedatanganku. Tersisa satu kursi kosong di sebelah Suzy, aku duduk di sana. Melepaskan kaca mata hitam dan masker yang aku gunakan. Memberikannya pada asisten pribadiku.

"Selamat malam," aku menyapa singkat sambil membungkukkan badan.

"Kami kira kau akan datang lebih lama." Seorang staf yang duduk di seberang kursiku menyahut.

"Ada apa memintaku datang malam-malam begini?"

Mengabaikan ucapan para staf yang menangani PR stunt-ku dan Suzy, langsung saja aku bertanya to the point. Kepala devisi bagian marketing tersenyum miring.

"Masih ada beberapa hari lagi sebelum keputusan akhir kau dan Suzy menyetujui PR stunt. Namun, dilihat dari interaksi kalian beberapa hari terakhir, aku mendapat kabar kalau kalian saling menyukai satu sama lain?" Ia menatapku dan Suzy bergantian.

Suzy menoleh padaku. Tatapannya tidak bisa terbaca dengan baik. Jika Jisoo ada di sini ia pasti menyumpahiku yang tidak peka dengan lingkungan sekitar. Pikiranku bergerak cepat. Berusaha mencari jawaban dari tatapan Suzy. Memejamkan mata, rangkaian memori beberapa hari lalu terulang kembali. Pikiranku hanya memikirkan satu hal saat mata ini kembali terbuka.

"Dari mana kau mendapat kabar itu?" Aku membalas dengan percaya diri. Menyingkirkan kegugupan yang aku alami.

"Kalian berinteraksi di kantor, bagaimana mungkin aku dan tim tidak mengetahui kedekatan kalian? Kunjungan formal dua hari yang lalu, karangan bunga yang kau berikan pada Suzy beberapa jam yang lalu, apa itu tidak cukup mencurigakan bagi kami bahwa kalian memiliki hubungan?"

"Sebenarnya—" Suzy menatapku, "kami belum bisa memberikan kepastian apapun untuk saat ini. Bagaimana kalau kami memberitahu kalian kepastiannya di hari ketujuh permintaanku?"

Salah satu dari mereka tergelak. "Mengapa kalian senang sekali mengulur waktu? Lebih baik jujur dengan kami dari pada Dispatch yang membongkar hal ini ke publik pada tanggal 1 Januari nanti."

Sial. Aku, Suzy, dan Jisoo melupakan Dispatch. Paparazi gila itu pastilah mengikuti kemana pun aku dan Suzy pergi setelah Start Up sukses besar. Aku harus berbicara intens dengan Suzy terkait hal ini. Untuk itu, aku menarik tangan Suzy.

"Kami akan segera kembali." Membungkukan badan, aku pergi membawa Suzy meninggalkan ruangan.

Semakin larut kantor manajemen Soop nyaris tidak ada orang. Kendati demikian, kami tidak bisa berbicara di lorong. Resikonya terlalu besar. Aku membawa Suzy ke ruangan meeting yang biasa kami gunakan. Membuka pintunya, aku menghela napas lega. Tidak ada orang di dalam ruangan ini.

Aku langsung memposisikan Suzy berdiri di depanku. Berhadapan aku menatap netra cokelat miliknya yang telah pulih kembali.

"Aku minta maaf untuk apapun itu. Aku minta maaf," ucapku sungguh-sungguh.

Netra cokelat milik Suzy mulai berkaca-kaca. Dengan sigap aku menghapusnya menggunakan ibu jariku. Memegang sebelah tangannya.

"Seperti yang telah aku utarakan padamu, PR stunt tidak mudah untuk dihadapi. Ada banyak luka yang harus dirasa, ada banyak sakit hati yang harus dialami. Kau bisa memahaminya dengan nyata sekarang, kan?"

Suzy mengangguk kecil.

"Aku tahu ini terkesan sangat bodoh. Dua hari yang lalu aku menolakmu, tapi hari ini aku menyadari hal besar yang bisa aku wujudkan bersamamu. Melupakan masa lalu kelam itu dengan kau yang bersedia menjadi obat penyembuh masa laluku. Masih adakah kesempatan itu untukku sekarang?" Aku menatap matanya penuh harap. Netra cokelat miliknya kembali berkaca-kaca. Tangannya yang bebas memegangi tanganku yang bertahan di pipi kirinya.

"PR stunt telah memberikan aku luka di hati yang amat dalam. Perlakuanmu padaku dua hari yang lalu apa kau tahu sesakit apa hatiku mendengarnya?" Sempurna air mata Suzy menetes secara bersamaan.

Aku hendak menghapusnya, tetapi tangan Suzy menghalangi pergerakan tanganku.

"Luka itu sama besarnya dengan milikmu. Jika kau hanya mengharapkan aku menjadi obat penyembuh luka masa lalumu, kesempatan itu tidak ada lagi."

"Aku terlambat?" Aku bertanya getir.

Suzy menggeleng.

"Lalu apa?"

"Aku ingin kau menjadi obat penyembuh di hatiku juga."

Air mata Suzy mengalir semakin deras. Wajahnya tertunduk. Kalimat kiasan kali ini tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut aku bisa memahami maknanya. Mengambil wajah Suzy agar menatap ke arahku, aku mengecup bibirnya sekali. Kemudian memandanginya dengan cinta dan harapan baru.

"Tentu saja, ya. Anggap aku membayar untuk semua yang telah kau lakukan untukku. Berhentilah menangis. Mianhae." Aku menghapus air matanya.

Malu-malu Suzy mengangguk.

*****

Life After Start Up PR StuntTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang