°°°
Kadang Naren bingung. Ia bisa dengan mudahnya mengucapkan kalimat-kalimat gombalan yang manis pada banyak perempuan.
Entah berapa banyak perempuan yang tergila-gila dengan senyuman ramah Naren. Entah berapa banyak perempuan yang baper dengan kalimat manis Naren. Padahal hal itu ia lakukan hanya untuk kesenangannya sendiri. Bukan kalimat dari hati, apalagi dengan perasaan lebih.
"Halo adek, kelas sepuluh ya? Alumni SMP mana nih?"
"Nungguin jemputan ya? Sendirian nih? Yaudah gue temenin ya"
"Misi Kak, dipanggil Pak Dani keruang guru, katanya disuruh ikut ujian susulan. Oh ya, semangat ya kak!"
Bukan apa-apa, perilaku Naren yang seperti itu karena ia memang kelewat ramah pada siapa saja. Hal itu memang terbiasa ia lakukan, bahkan sampai teman-temannya sendiri heran dengan tingkah Naren.
Narendra Julian mempunyai Ibu seorang Psikolog. Sejak kecil sang Ibu sering mengajarkan kalau kita harus sering menebarkan energi positif kepada orang lain. Memberi mereka semangat, memberi mereka pujian, setidaknya agar mereka merasa dihargai.
Ya gak salah sih
Hanya saja Naren melakukannya sedikit lebih ekstrim. Orang lewat yang tak sengaja saling pandang, ia tersenyum. Mpok Inah penjaga kantin juga sudah terbiasa dengan mulut manis Naren.
"Muji beunang,tapi jangan kabina-bina atuh! Maneh eta kasep, bisa-bisa engke batur salah ngarti jadi na!"
Naren ketawa aja denger omelan Mpok Inah tentang kebiasaan dia itu.
Kebiasaannya itu, Naren justru tidak bisa melakukan itu pada satu orang. Navida Windy.
Nada panggilannya. Gadis berkulit putih halus dengan rambut tergerai lebat, tetangga kelasnya yang dulu pernah satu ekskul dengan Naren.
Setiap bertemu dengan Nada, rasanya Naren ingin bertingkah layaknya cowok cool. Saat teman-temannya menyapa Nada, atau berbincang dengan Nada, Naren berlagak menjadi cowok yang paling tidak peduli. Melupakan image-nya sebagai cowok yang paling kelewat ramah disekolah.
Setiap ada keperluan yang mengharuskan Nada berbicara dengannya, Naren mendadak gugup. Alhasil, jawabannya selalu singkat.
Pernah sekali Naren sedang menggombali teman seangkatannya dikoridor, ternyata cewek itu juga temannya Nada. Disaat bersamaan, Nada datang dan menyaksikan Naren yang sedang mengucapkan kalimat-kalimat manisnya.
Sumpah, setelah itu rasanya Naren ingin menggali kuburannya sendiri.
Padahal, Nada cuma gadis sederhana yang tak banyak tingkah. Tak terlalu ramah, tak terlalu cuek. Biasa saja. Humble sih lumayan.
Kalau kata Jevan, salah satu teman Naren:
"Nada tuh luar biasa. Dia bisa bikin Naren yang biasanya gak tau malu jadi ciut"
Setelah itu Naren ditertawai habis-habisan oleh teman perkumpulannya.
Bertemu dengan Nada, rasanya Naren seperti bertemu dengan bidadari tercantik sekota Bandung. Bahkan Naren pun jadi tau kebiasaan Nada yang sering duduk diperpustakaan. Naren juga jadi tau teman-teman seperkumpulan Nada.
Ganteng doang, ngegas cewek malah ciut.
Lama kelamaan, seiring dengan berjalannya waktu mereka mulai menduduki kelas 12 SMA. Jadi, hampir setahun Naren memendam perasaan kepada Navida Windy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Nada
Jugendliteratur-END- "Karena level tertinggi dari ketulusan adalah pengorbanan." . . . Short Story Na Jaemin, Lee Haechan, ft. NCT Dream