12. Kereta Yang Melaju

588 83 10
                                    

-Last Part-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-Last Part-






°°°





Nada terengah. Gadis itu berlari menerobos keramaian stasiun. Matanya menoleh kesana kemari mencari siluet yang ia cari itu.

Kenapa Naren tak bilang kalau ia akan pergi hari ini?!

Nada mengumpat dalam hati. Setelah dari taman kota tadi, Elang langsung mengantar Nada ke stasiun yang jaraknya tak jauh dari sana. Lalu keduanya terpisah. Nada yang terlalu cepat berlari, atau Elang yang entah kemana.

Gadis itu tak peduli. Sekarang yang dipikirannya hanya Narendra Julian.

Kenapa ia harus pergi? Kenapa tak bilang dulu padanya? Padahal baru kemarin mereka makan mi ayam bersama, kenapa hari ini Naren langsung pergi? Apa Naren pergi karenanya?

Nada merasa menjadi gadis paling bodoh. Semua ini jelas karena kelabilannya sendiri.

Teringat akan sesuatu, Nada mengeluarkan ponselnya. Lalu menekan kontak Naren dan menghubunginya.

Nomer yang ada tuju----


"Sial!" umpatnya. Lalu menekan ikon memanggil sekali lagi meski yang ia terima hanya suara operator yang sama.


Nada kalut. Mendadak pusing karena disekitarnya ramai akan pengunjung. Gadis itu melemas, namun tetap berusaha mencari lagi dengan harapan dapat bertemu dengan Naren.

Namun, nihil. Sejauh mana Nada berlari, mencari Naren kesana kemari ditengan keramaian stasiun, Naren tak terlihat sama sekali.

Nada terdiam, menatap kosong kearah kereta yang mulai melaju pada relnya. Gadis itu menunduk, menutupi matanya dengan punggung tangan.

"Hiks...hiks" suara isakkan itu kembali terdengar.

Langit mulai menggelap. Seiring dengan suara kereta yang melaju cepat, dan Nada yang hanya bisa terisak putus asa.

Apakah ia mengulangi kesalahan yang sama? Ia telah menyakiti Naren. Lalu meninggalkan Elang. Nada merasa menjadi gadis terbodoh didunia.

Rasa sakit itu jelas ada. Naren yang pergi dan Elang yang kini entah kemana. Rasanya seperti pantas untuknya yang seolah mempermainkan perasaan dua pemuda itu.

Baru kemarin ia dan Naren tertawa. Baru kemarin keduanya duduk diperpustakaan bersama. Baru kemarin keduanya saling bercanda bersama. Dan baru kemarin juga Nada menggantungkan perasaan Naren dan berakhir menyakitinya.

Seandainya ia tidak labil. Seandainya ia langsung menjelaskan perasaannya. Seandainya ia menegaskan dirinya. Seandainya dan seandainya. Begitu banyak kata seandainya yang sudah tak mungkin dikepala Nada.

Semua sudah terjadi. Terlalu cepat, bahkan rasanya terlalu cepat terjadi. Hingga Nada yang lelet ini tak sempat bergerak.

Hingga pasrah menangisi kereta yang telah melaju cepat dan perlahan meninggalkan kota Bandung.

Tentang NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang